MUbadalah.Id– Berikut tantangan suara perempuan di dalam parlemen. Di akhir masa jabatannya, wakil rakyat periode 2014-2019 ini justru menimbulkan banyak persoalan bangsa, terutama soal membuat perundang-undangan hingga mengundang sejumlah massa aksi mahasiswa dan berbagai elemen lain berdemo di segenap penjuru daerah Indonesia.
Ditengah polemik kebijakan, wakil rakyat 2019-2024 telah dilantik. Dan pucuk pimpinannya dimandatkan kepada salah satu cucu Soekarno, yakni Puan Maharani Megawati dari PDI-P. Karena partai bemoncong banteng ini memenangi Pemilu.
Di samping itu, keterwakilan perempuan mengalami peningkatan yang cukup besar dibandingkan pesta demokrasi sebelumnya. Totalnya ada sekitar 118 perempuan atau 21 persen dari total 575 kursi di DPR diisi oleh perempuan. Jumlah tersebut meningkat 22 persen dari pemilu sebelumnya yang hanya mengisi sebanyak 97 kursi.
Rakyat masing-masing dapil berhak menagih janji manis anggota DPR ini sewaktu masa kampanye. Aspirasi rakyat harus terus digaungkan agar mereka tak lupa atau melupakan. Jadi harus kita kawal dan awasi bersama agar mereka tak melenceng dari setiap kebijakan yang akan dikeluarkannya.
Jangan sampai yang terpilih ini menjadi petugas politik kalau menurut bahasa Mbak Alissa Wahid. Tapi sebagai negarawan yang menampung aspirasi rakyat untuk kepentingan rakyat bukan hanya kepentingan segelintir orang/kelompok atau partainya.
Bagaimana dengan wakil rakyat perempuan? Apakah mereka kuat menghadapi pertaruangan politik yang banyak kepentingannya di parlemen? Apakah perempuan memiliki nilai tawar dan mempertahankan idealis kerakyatan, terutama kaum perempuan?
Sangat disayangkan jika kehadiran perempuan di parlemen hanya sebagai pelengkap saja. Atau memenuhi kuota 30 persen. Padahal keberadaan mereka dapat membawa aspirasi rakyat, terutama kaum perempuan. Seperti kasus kekerasan, buruh migan, kesehatan, pendidikan, dan ekonomi.
Menurut Hj. Aisyah Hamid Baidlowi dikutip dari buku “Nalar Politik Perempuan Pesantren” karya Maria Ulfah Ansor. Indonesia juga membutuhkan figur politisi perempuan yang cerdas, cerdik, bersikap kritis dan analitik. Yang terpenting dari semua itu adalah bersikap tegas dengan idealismenya.
Jika bukan perempuan siapa lagi yang akan peduli pada perempuan. Jika tak sekarang, sampai kapan kita akan membiarkan keterpurukan perempuan berjalan terus dengan segala persoalan yang pelik. Jangan sampai terulang kembali penundaan regulasi pemenuhan hak pada korban kekerasan seksual.
Akar permasalahannya tentu masih rendahnya perspektif gender di kalangan para pengambil keputusan. Sehingga RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) sampai akhir jabatan wakil rakyat periode sebelumnya tak disahkan.
Ini pengalaman pahit dan amat menyakitkan terutama bagi korban dan aktivis perempuan yang terus mengawal RUU ini agar diterbitkan. Apalagi mereka ini dituduh mendukung zina dan legalnya LGBT. Tuduhan-tuduhan yang sangat tak mendasar.
Usai dilantik, sebelum mambahas dan membuat UU serta fungsi pengawasan kepada eksekutif. Alangkah baiknya politisi perempuan menganalisis seluruh masalah yang dihadapi bangsa ini. Menurut Maria Ulfah Ansor persoalan perempuan bukanlah persoalan yang berdiri sendiri, tetapi mencakup aspek-aspek lain yang bersinggungan.
Setelah menganalisis persoalan bangsa terutama mencakup bidang kajian kerja Komisi. Masih menurut Maria Ulfah, sebaiknya dibuat peta politik pembangunan dari aspek pendidikan, kesehatan, agama, politik, sosial-budaya, hukum, termasuk UU dan kebijakan. Dimensi tersebut sangat penting karena bagian yang tak terpisahkan.
Persoalan perempuan tak bisa dibaca, analisis dan diselesaikan hanya satu aspek saja, karena semuanya saling berkaitan. Makanya perlu diidentifikasi dan dipetakan secara gamblang. Selanjutnya buat program prioritas, strategis, praktis dan mendesak (misalnya RUU P-KS).
Yang terpenting dari itu semua komunikasi politiknya harus tuntas antar sesama politisi, fraksi, dan partai. Sehingga ketika ingin menyelesaikan satu persoalan di parlemen tak terjadi ketegangan politik yang berkepanjangan.
Politisi perempuan pun harus bisa menempatkan dirinya. Dimana saatnya “memukul” (politik, non fisik) dan dimana harus merangkul. Hal ini untuk menguatkan kepentingan aspirasi rakyat, terutama soal perempuan agar persoalan dapat diselesaikan satu persatu.
Wakil rakyat yang baru ini diharapkan dapat membantu menyelesaikan persoalan. Atau paling tidak bisa mengurangi dari peningkatan kasus-kasus yang menimpa perempuan. Seperti KDRT, kekerasan seksual, kematian ibu dan bayi, stunting, dan kasus lainnya.
Semoga wakil rakyat perempuan bisa mengangkat harkat dan martabat kaumnya demi terciptanya Indonesia yang adil dan sejahtera yang dirasakan semua orang. Diharapkan juga kedepan Indonesia menjadi rumah yang aman, terbebas dari segala bentuk jenis kekerasan, dan diskriminasi kepada siapapun.
Berharap wakil rakyat perempuan bukan hanya mengejar 30 persen keterwakilan perempuan. Namun dapat melakukan kerja-kerja nyata untuk kepentingan kaumnya dan bangsa Indonesia. Sehingga tak ada lagi penindasan kepada perempuan atas nama apapun.
Yang terpenting dari itu semua jangan sampai anggota DPR ini terjerat kasus korupsi, karena hal itu menyakitkan kita semua. Semoga langkah politisi perempuan dapat menginspirasi kita semua. Melalui tupoksinya dapat membawa Indonesia ke arah lebih baik lagi.
Demikian penjelasan terkait tantangan suara perempuan di dalam Parlemen. Semoga keterangan tantangan suara perempuan di dalam Parlemen. []