• Login
  • Register
Rabu, 2 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Keniscayaan Moderasi

Wasid Mansyur Wasid Mansyur
31/08/2019
in Publik
0
relasi, beragama

Sumber Foto: Gatra.com

32
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Melanjutkan tulisan sebelumnya, membahas soal prinsip keagamaan moderasi sebagai keniscayaan pilihan dalam rangka membangun dialog. Mengapa harus ada keniscayaan moderasi? Sebab dalam beragama adalah dua kecenderungan ekstrem yang sangat berbahaya dalam kehidupan beragama dan berbangsa, yakni kecendrungan ekstrem kanan (al-tatharruf al-yumni) dan kencederungan ekstrem kiri (al-Tatharruf al-Yasari).

Ekstrem kanan seringkali disebut “pengamba teks” (ubbad al-Nusush), yang selanjutnya identik dipahami sebagai kelompok tekstualis-skriptualis. Kelompok ini berbahaya sebab ia memahami teks keagamaan apa adanya, yang tidak ada dalam teks diangap salah dan kafir. Contoh yang mudah dipahami adalah Pancasila sebagai dasar kehidupan berbangsa dianggap sebagai ideologi bertentangan dengan Islam, bahkan disebut thaghut mengingat ia tidak didasari oleh ajaran Islam.

Padahal secara substansi nilai-nilai luhur yang ada dalam Pancasila tidak bertentangan dengan Islam, misalnya Islam mengajarkan soal tauhid, keadilan sosial, anjuran bersatu, dan anjuran bermusyarawah.

Karenanya, cara pandang tekstualis menjadi sebab orang mudah bertindak radikal. Pasalnya, ia menganggap dirinya paling benar (truth claim). Ada kesan ia melakukan tindakan kebencian atau kekerasan atas nama membela Islam. Padahal, cara bertindaknya yang salah sangat merusak cintra Islam yang mengajar kedamaian dan cinta kepada sesama (rahmah li al-‘Alamin).

Kita memiliki hak untuk meyakini keyakinan kita benar, tapi dalam ruang sosial kita tidak diperkenankan juga memaksakan pilihah tafsir atau keyakinan tertentu agar dianut oleh orang lain secara seragam. Bukankah la ikraha fi al-din adalah petunjuk penting yang harus diamalkan sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an. Atau prinsip cinta dalam la yu’minu ahadukum hatta li akhihi ma yuhibba linafsihi.

Baca Juga:

Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

Sementara ekstrem kiri sering dikenal dengan kelompok rasional-liberalis. Kecenderungannya selalu menggunakan akal secara dominan ketidak memaknai pesan agama. Contoh, paling mudah adalah sholat prinsipnya adalah do’a. kalau sudah berdo’a mengapa kita harus ada gerak rukuk, sujud dan seterusnya. Puasa sejatinya mengajarkan kejujuran. Kalua sudah tergolong jujur, mengapa kita harus berpuasa.

Kelompok ini dipandang berbahaya sebab berpontensi mengenyampingkan teks-teks keagamaan dan ajaran pokok. Bukan hanya itu, liberasi beragama menjadi sebab seseorang mudah terjebak menghamba pada nafsu kemanusiaan-duniawi sehingga berpotensi akan mendegragasi pesan agama yang bertujuan hasanah fi al-dunya dan hasanah fi al-akhirat atau menjaga nuansa dhahir dan batin.

Oleh karenanya, moderasi berdiri tegak di tengah (wasathiyyah) dengan keyakinan bahwa teks dan akal tidak perlu dihadap-hadapkan. Dengan begitu, tidak perlu kita memandang orang lain secara berlebihan, dan radikalis, apalagi atas nama agama sebagai pembenar.

Prinsip moderat mengajak kita untuk terus menggunakan narasi dialog, ketika terjadi perbedaan. Bukan saling menegasikan antara yang satu dengan yang lain. Prinsip moderat mengajak kita agar lapang dada melihat perbedaan, yang merupakan sunnahtullah.

Akhirnya, mari kita kembangkan cara pandang moderasi dalam berkehidupan agar nuansa keagamaan dan kebangsaan ini tidak dikotori oleh nafsu kebencian. Pasalnya, jika tidak berarti ada yang kurang tepat, untuk tidak mengatakan salah, dalam kita memahami sesuatu sebagai agama, keagamaan dan keberagamaan dalam praktis kehidupan kita. Semoga Allah terus membimbing kita dalam jalur moderasi dalam bingkai beragama dan berbudaya secara damai. Amin. []

Wasid Mansyur

Wasid Mansyur

Terkait Posts

Gaji Pejabat

Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?

1 Juli 2025
Pacaran

Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

30 Juni 2025
Pisangan Ciputat

Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

30 Juni 2025
Kesetaraan Disabilitas

Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

30 Juni 2025
Feminisme di Indonesia

Benarkah Feminisme di Indonesia Berasal dari Barat dan Bertentangan dengan Islam?

28 Juni 2025
Wahabi Lingkungan

Wahabi Lingkungan, Kontroversi yang Mengubah Wajah Perlindungan Alam di Indonesia?

28 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Anak Difabel

    Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?
  • Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID