Mubadalah.id – Beberapa hari yang lalu, saya melihat postingan Instagram dari KH. Mustofa Bisri. Pada akun @s.kakung ini menampilkan postingan dengan narasi singkat namun punya makna yang mendalam sekaligus menyentuh sisi emosional. Sebuah postingan yang mengulas tentang seorang pahlawan.
Setiap tanggal 10 November lazim kita peringati sebagai hari pahlawan. Ketika mendengar hari pahlawan biasanya selalu identik dengan peran Bung Tomo, Soekarno, dan sederet pahlawan lain yang berjasa bagi kemerdekaan Indonesia.
Namun sosok pahlawan dalam postingan Gus Mus tidak hanya soal demikian. Beliau menuliskan begini:
“Pahlawan itu seperti ibu yang tulus ikhlas berkorban demi kebahagiaan anak-anaknya”
Gus Mus menyamakan pengorbanan seorang pahlawan seperti sosok ibu yang memiliki keikhlasan dalam berkorban untuk anak-anaknya. Ya, pahlawan itu bernama ibu
Kisah Ruri
Saya kemudian teringat dengan teman saya yang sempat berkisah tentang ibunya. Sebut saja Ruri namanya (bukan nama sebenarnya). Ia berkisah tentang sosok ibunya sebagai perempuan hebat yang terus mendorong anak-anaknya untuk berkembang. Walau sering terhimpit dengan keadaan.
Dari ceritanya, terlihat Ruri memang tidak ingin berkeluh kesah. Ia hanya ingin sekadar berbagi kisah, tentang ketegaran hidup, pengorbanan, serta kasih sayang ibunya kepada keluarga.
Usia pernikahan ibu Ruri terpaut 12 tahun dengan bapaknya. Mereka berdua kemudian dianugerahi 5 orang anak dengan rentang usia yang cukup berjauhan. Dua orang laki-laki dan tiga perempuan. Kebetulan Ruri adalah anak laki-laki nomor tiga. Sebagai orang desa keluarga Ruri hidup dengan penuh kesederhanaan.
Dalam ombak kehidupan, bahtera ujian itu memang benar adanya. Al-Quran dalam Surah Al Baqarah ayat 155 menyatakan bahwa setiap manusia akan Allah uji dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan ekonomi, kehilangan keluarga, dan hal-hal lainnya. Namun Allah memberikan kabar gembira bagi orang-orang yang sabar.
Dan benar saja, ujian itu datang ketika kakaknya Ruri yang kedua terenggut nyawanya.
“Entah kenapa peristiwa itu masih terekam jelas dalam ingatan saya yang saat itu masih usia SD. Sebuah kecelakaan saat perjalanan menuju pesantren, pada hari Jumat 12 Rabiul Awal” kata Ruri.
Mendengar cerita Ruri saya hanya dapat berharap semoga kejadian itu adalah jalan syahid bagi kakaknya.
Doublen Burden itu Nyata
Ruri menyebutkan bahwa beban ganda atau double burden itu memang benar adanya bagi ibu Ruri. Hal tersebut semakin terasa ketika kakak laki-laki Ruri yang pertama mendahului keluarganya menuju kehadirat Tuhan beberapa tahun yang lalu. Ruri pun beralih peran sebagai anak pertama dengan dua adik perempuannya.
Saat itu Ruri masih berjuang menggapai mimpinya di sebuah lembaga pendidikan tinggi dengan beasiswa. Tentu dengan syarat dan ketentuan yang mengikat dengannya.
Sedangkan di rumah masih ada Ibu Ruri bersama dengan bapaknya, nenek, serta dua adiknya yang masih kecil.
Saat itu bapak Ruri mulai menua dengan penyakit gula yang semakin menggila. Demikian pula neneknya yang sedang berjuang dengan penyakit lanjut usianya. Sedangkan dua adik Ruri, yang satu masuk pesantren di dekat rumah dan tidak melanjutkan jenjang pendidikan menengah atas karena faktor ekonomi. Sedangkan adik yang satunya masih usia sekolah dasar.
Sebagai anak ketiga yang mendadak memainkan peran sebagai anak pertama, Ruri sebenarnya merasa sangat bersalah karena belum bisa membantu keluarga. Di samping jauh dari rumah, terkadang untuk memenuhi kebutuhan sendiri pun harus memutar pikiran, dan berhemat sedemikian rupa.
Ruri mengaku ketika ia pulang ke rumah, ia merasa sangat trenyuh dengan cerita ibunya. Bagaimana tidak? Suaminya yang sudah tidak bekerja mengharuskan ibu Ruri untuk mengurus rumah, orang tua, anak, dan berbagai kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah lainnya.
Sebuah Perjuangan Menyambung Kehidupan
Ibu saya, kata Ruri, pernah bercerita bahwa ia pernah berkeliling dari rumah ke rumah untuk menawarkan jasanya sebagai IRT (Ibu rumah tangga) karena hanya itu yang bisa ibu lakukan. Tak sedikit yang menolak dan tidak membutuhkan jasanya.
Akhirnya ia mendapat tawaran menjadi IRT di sebuah keluarga yang lumayan jauh dari rumahnya dengan upah yang menurut Ruri masih jauh dari standar jika ia bandingkan dengan waktu bekerjanya. Ibu terpaksa menerima karena memang hanya itu yang ada. Dan ia tidak mungkin merantau ke luar kota.
Dalam kesehariannya, lanjut Ruri, ibu selalu bangun pagi kemudian menuntaskan urusan keluarga seperti memasak, mencuci piring, dan pekerjaan domestik lainnya. Kemudian setiap jam setengah tujuh pagi ibu harus pergi bekerja sebagai IRT tadi. Di sana dia bekerja serabutan. Masak, momong, bersih-bersih bahkan hingga mencuci dan menyetrika pun ia lakukan. Hal tersebut biasa ia kerjakan hingga jam empat sore.
“Sampai di rumah bukan berarti ibu bisa istirahat. Biasanya ibu kemudian menyalakan tungku perapian dan menghangatkan sayur yang ia masak tadi pagi. Atau kalau tidak ia memasak lagi untuk menu makan malam” kata Ruri.
Terkadang, lanjutnya, ia juga harus mengumpulkan kayu bakar terlebih dahulu. Bahkan ketika diabetes bapak kambuh, ibu harus mencari makanan untuk kambing peliharaan, meskipun hanya satu. Malamnya pun terkadang ibu harus meluangkan waktunya mencuci baju keluarga sebelum ia tidur.
Menjadi Tulang Punggung Keluarga
Untuk keperluan sehari-hari, gaji yang diterima ibu Ruri bisa dikatakan cukup untuk menyambung hidup. Namun, jika ada kebutuhan lain seperti orang hajatan, iuran sekolah, dan iuran lainnya, ia terpaksa meminjam ke koperasi atau bank yang setiap bulan ia harus mencicilnya.
“Saya salut dengan ketegaran ibu menjalani hari-harinya. Ia harus menjadi tulang punggung keluarga di samping merawat bapak yang mulai sakit-sakitan, nenek yang sudah lansia, dan dua adik saya dengan biaya pendidikan yang semakin tinggi,” kata laki-laki asal Pasuruan ini.
“Tetapi saya kasihan, belum bisa sepenuhnya membantu keluarga karena kondisi saya juga masih seperti ini juga,” keluhnya.
Saya mengenal Ruri sebagai pribadi yang sederhana, jarang main kalau memang tidak benar-benar penting, dan selalu terlihat bahagia. Namun ternyata, ia juga menyimpan ujian yang cukup berat.
Sebagai seorang laki-laki, apalagi yang paling tua, saya merasakan bagaimana kondisi psikologis Ruri yang seharusnya turut bertanggung jawab terhadap problematika keluarganya.
Pahlawan Sepanjang Masa itu Bernama Ibu
Cerita tentang ibu Ruri menggambarkan bahwa menjadi perempuan memang tidaklah mudah. Apalagi jika sudah menjadi sosok ibu. Dengan kelembutannya, ia adalah tempat berteduh paling nyaman bagi keluarga. Namun di saat tertentu, ia harus siap menjadi garda terdepan demi kebahagiaan seluruh anggota keluarganya.
Maka tidak salah, jika sedari sekarang perempuan hendaknya terlatih dan terdidik untuk mandiri. Bukan pasrah sepenuhnya kepada suami. Setidaknya ada beberapa hal yang mungkin terjadi ketika perempuan selalu menggantungkan diri kepada suami.
Di lain sisi, suami bisa saja akan berlaku kasar kepada istri karena ia merasa punya kuasa karena telah mencukupinya setiap hari. Sehingga ia bisa berlaku seenaknya.
Sedangkan di sisi lainnya, istri tidak dapat mandiri karena selalu menggantungkan diri kepada suaminya. Sehingga ketika suaminya sedang tidak baik-baik saja, istri tidak punya kuasa atas dirinya sendiri.
Bagaimanapun juga, ibu adalah pahlawan sepanjang masa. Apa pun kondisinya, peran sebagai seorang ibu dan juga ayah bersifat saling melengkapi dan mensupport satu sama lain. Di mana hal tersebut tidak lain adalah demi kebahagiaan keluarga dan masa depan anak-anaknya.
Oleh karena itu, sebagai seorang anak, kita pun harus berbakti kepada mereka, bagaimana pun kondisinya. Selama hal tersebut masih berada dalam jalur kebaikan. Mengutip novelis J.S Khairen dalam novel “Dompet Ayah Sepatu Ibu”, ia menuliskan kalimat yang cukup menawan. Kira-kira begini tulisannya:
“Benar kau tak pernah memilih lahir dari orang tua yang seperti apa. Begitu juga orang tuamu, mereka tak pernah memilih melahirkan anak yang seperti apa. Maka keduanya mendapat tanggung jawab dan anugerah yang sama”.
Untuk kedua orang tua kita, ayah atau ibu, berbaktilah ketika mereka masih ada. Jika sudah tiada, tetap berbaktilah, dan jadilah anak yang membanggakan keduanya. Berupayalah sejauh apa yang dapat kamu lakukan sehingga kamu mampu membuat mereka tersenyum bahagia. []