Mubadalah.id – Di Banjarmasin, ada perempuan ulama terkenal bernama Fatimah al-Banjari. Orang-orang menyebutnya Syekhah Fatimah binti Syekh Abdul Wahab.
Fatimah al-Banjari cucu ulama besar Kalimantan, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, penulis kitab terkenal, Sabilal-Muhtadin.
Syekhah Fatimah al-Banjari adalah anak perempuan dari Syarifah binti Syekh Arsyad yang bersuami Syekh Abdul Wahab – Bugis (sahabat Syekh Muhammad Arsyad).
Fatimah al-Banjari tumbuh dan besar di dalam keluarga ulama besar tersebut. Di sanalah, dan dari merekalah, Fatimah belajar al-Qur’an dan ilmu-ilmu keislaman, seperti, bahasa Arab, ilmu tafsir, ilmu hadits, ushuluddin (teologi), fiqh, dan lain-lain.
Bersama saudara seibunya, Muhammad As’ad, Syekhah Fatimah aktif mengajar dan berdakwah agama Islam di Tanah Banjar.
Keluarga besar Syekh Arsyad menjadi guru, kiai, dan nyai di tempatnya masing-masing. Fatimah menjadi guru di dalam komunitas kaum perempuan, tidak dalam komunitas laki-laki.
Di samping berdakwah dan mengajar, Fatimah juga menulis kitab fiqh berjudul Perukunan Jamaluddin.
Kitab ini berisi tentang persoalan fiqh, seperti shalat, puasa, dan penyelenggaraan jenazah. Banyak orang tidak tahu bahwa kitab ini adalah karya seorang perempuan ulama bernama Fatimah.
Mereka hanya tahu bahwa penulisnya ialah Syekh Jamaluddin. Nama kitabnya dihubungkan dengan ulama laki-laki ini: Perukunan Jamaluddin.
Kemudian, pertanyaan banyak orang ialah mengapa begitu? Ya, mengapa identitas penulis buku tersebut bukan Syekhah Fatimah?
Analisis Martin van Bruinessen menduga kuat bahwa hal itu karena ada anggapan bahwa pada masa itu, menulis kitab adalah “pekerjaan” laki-laki.
Lebih jauh, guru besar studi Islam dari Belanda ini berpendapat, kalau sejarah digali, tidak mustahil kita akan menemukan sejumlah perempuan lain yang menguasai ilmu-ilmu agama dan telah menulis kitab.
Tetapi sumbangan atau peran mereka tak cukup mendapat kepercayaan. Budaya patriarki di banyak tempat di dunia sering kali menyembunyikan kehebatan intelektualitas perempuan. []