Mubadalah.id – Makna kemerdekaan, apakah sudah dirasakan oleh kaum perempuan? Kondisi di mana kehidupan bangsa kita telah lama terkungkung budaya patriarkhi. Berbagai kezaliman yang menimpa perempuan apakah masih terjadi?
Kemarin, Hari Kamis 17 Agustus 2017, bangsa kita, kita semua sedang berbahagia merayakan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-72, terhitung sejak dahulu kita merdeka pada 17 Agustus 1945. Ini momen sejarah paling penting bangsa kita, setelah tidak kurang dari 350 tahun dizalimi penjajah. Bangsa kita menderita akibat kekejaman penjajah. Rakyat dan sumber daya alam bangsa kita dieksploitasi habis-habisan.
Kita patut bersyukur karena Allah menolong bangsa kita. Betapapun perjuangan bangsa kita tidak dilengkapi dengan senjata canggih, toh pada akhirnya hanya dengan modal bambu runcing, kita mampu meneriakkan kata merdeka dengan lantang. Semua komponen bangsa ini bersatu padu, tak peduli agama dan suku, perempuan maupun laki-laki, melawan kekejaman penjajah.
Lalu apa makna kemerdekaan bangsa bagi kita yang hidup di zaman modern seperti sekarang? Lebih spesifik lagi bagaimana makna kemerdekaan, apakah sudah dirasakan oleh kaum perempuan? Kondisi di mana kehidupan bangsa kita telah lama terkungkung budaya patriarkhi. Berbagai kezaliman yang menimpa perempuan apakah masih terjadi? Tentang KdRT, perselingkuhan, poligami, perceraian dan lain sebagainya.
Realitas kita dewasa ini betapa miris. Tak tanggung, atas nama Islam, para Muslim-Muslimah kita semakin gencar mengampanyekan ‘resign bagi perempuan.’ Para perempuan cerdas yang sebelum menikah mereka pro-aktif berorganisasi, membangun masyarakat, mengabdi di berbagai bidang kehidupan, berkarir di segala profesi: guru, desaigner, pengusaha dan lain sebagainya, kini mereka malah beramai-ramai resign dari pekerjaannya. Apa dalihnya? Katanya, takdir perempuan itu cuma di rumah; mengurus rumah tangga dan anak.
Lebih mengerikan lagi dari itu, dewasa ini mulai ramai kampanye ‘nikah muda’ atau ‘nikah dini.’ Dengan dalih menikah itu pintu terbukanya rezeki, hal ini dipahami mentah-mentah. Pernikahan dijadikan lomba setara lomba lari, seolah-olah siapa yang cepat menikah maka dia yang jadi pemenang. Kesiapan mental, sebagai prasyarat utama dalam menikah tak dihiraukan atau disepelekan. Pernikahan seperti kehilangan makna sakralnya sebagai ibadah yang berat, yang punya konsekuensi rentan terhadap konflik dan perceraian.
Tak hanya berhenti di situ, poligami yang dahulu terasa asing, hari ini orang tanpa malu, tanpa basa-basi membicarakan poligami di mana-mana, di kantor, di pasar, di pos ronda, bahkan di majelis pengajian. Hari ini poligami dianggap sunah Rasul yang menjadi target para suami. Para pemuka agama malah dengan sengaja memberikan ceramah poligami di depan jamaah secara blak-blakan.
Semakin mengerikan, acara seminar dan workshop bertajuk indahnya poligami semakin gencar diadakan. Tak tanggung, biaya mahal dan fasilitas mewahpun ditawarkan. Takjubnya banyak diminati orang. Bahkan kini, para perempuan sendiri yang meminta dipoligami kepada suaminya. Alasannya lucu, ingin mendapatkan surga Allah.
Terakhir, perempuan sedang dihadapkan pada upaya kezaliman berbasis agama. Perempuan masih dianggap sebelah mata, tidak lebih sebagai manusia pembawa fitnah, penggoda, pemuas nafsu belaka, manusia yang kepribadiannya dekat dengan setan, akal dan agamanya lemah dan masih banyak lagi. Perempuan memang belum merdeka, terlebih istri. Kehidupan para istri sengaja dibatasi hanya seputar dapur, sumur dan kasur. Dengan dalih ‘memuliakan istri’, mereka seperti orang yang tak punya pendirian. Hidupnya seperti robot yang dikendalikan oleh suaminya dengan remote.
Puncaknya para perempuan dijadikan sasaran empuk dalam sejumlah aksi radikal dan teror (radkalisme-terorisme). Apakah ini makna kemerdekaan bagi perempuan? Kita harus kembali mengeratkan persatuan untuk melawan berbagai kezaliman yang kerap menimpa perempuan. Dengan apa? Dengan membangun gerakan berbasiskan perspektif kesalingan dan kesetaraan. Setidaknya ada lima agenda untuk gerakan ini:
Pertama, melalui penguatan perspektif kesalingan. Bahwa perempuan dan laki-laki adalah sama-sama manusia ciptaan Allah yang mulia dan harus saling memuliakan. Keduanya sederajat. Keduanya dianugerahi akal dan pikiran. Keduanya diperkenankan Allah untuk mendayagunakan segala potensinya dengan optimal. Perempuan berlomba dalam kebaikan dengan laki-laki.
Kedua, membumikan pemahaman dan pemikiran keagamaan yang ramah perempuan. Islam melalui Al-Qur’an dan hadis selalu mengatakan bahwa perempuan adalah mitra laki-laki. Istri adalah mitra suami dalam rumah tangga, tidak berlaku relasi atasan-bawahan. Kalau ada ayat Al-Qur’an maupun hadis yang terkesan bias gender, maka harus diketahui latar belakang turunnya, berikut harus ditafsirkan (dipahami) dengan kontekstual. Tidak terpaku hanya pada bunyi hurufnya saja.
Ketiga, menerapkan relasi kesalingan dan timbal balik dalam rumah tangga. Istri dan suami harus saling melengkapi. Istri memang harus salehah, tetapi di saat yang sama, suami juga harus saleh. Istri dan suami bersama mengurus rumah tangga, mendidik anak, mencari nafkah, beribadah dan lain sebagainya. Istri dan suami harus saling mengisi, berbagi peran dalam rumah tangga.
Keempat, memberikan keleluasaan kepada istri untuk berkarir. Sebagaimana laki-laki, perempuan boleh berkarir, sepanjang tidak ada paksaan. Istri berkarir bukan berarti akan menyaingi suami. Istri berkarir semata-mata karena wujud rasa syukur atas potensi dan kemampuan yang telah diberikan Allah. Uang suami ya uang istri, begitupun sebaliknya. Semuanya milik bersama dan dikelola bersama.
Selebihnya bahwa membangun rumah tangga itu harus diimbangi dengan fondasi kedewasaan, pikiran-pikiran yang rasional, bukan berdasarkan mitos dan paham keagamaan yang dangkal. Dengan begitu, mestinya suami tak mengenal apa itu nikah siri, perselingkuhan, poligami, melakukan kekerasan terhadap istri, mentalak istri dengan sembarang dan lain sebagainya.
Surga itu menurut doktrin agama penuh dengan kenikmatan. Maka tak pelak jika orang-orang, para istri dan suami mudah tergiur. Betapapun masih hidup di dunia, bayangannya melanglang-buana jauh ke akhirat sana. Padahal surga akhirat itu tak kelihatan mata dan tak usah dikhawatirkan. Tugas kita sekarang adalah bagaimana membangun dan menciptakan surga di dunia, di dalam rumah tangga, diciptakan berdua oleh istri dan suami dengan sabar, tekun dan bersama. []