Mubadalah.id – Ijtihad Aisyah bint Abi Bakr ra telah mengajarkan bagaimana pemaknaan teks-teks hadis harus dipandu dengan ayat-ayat al-Qur’an.
Dalam relasi laki-laki dan perempuan misalnya, bisa dirujuk pada prinsip-prinsip yang digariskan al-Qur’an, terutama hal-hal berikut:
Pertama, bahwa perempuan dan laki-laki, Allah ciptakan dari entitas (nafs) yang sama (QS. an-Nisa, 4: 1).
Kedua, bahwa kehidupan yang baik (hayatan thayyibah) hanya bisa dibangun dengan kebersamaan laki-laki dan perempuan dalam kerja-kerja positif (‘amalan shalihan). (QS. an-Nahl, 16:97).
Ketiga, perlu kerelaan kedua belah pihak, laki-laki dan perempuan dalam kontrak perkawinan (taradlin). (QS. al-Baqarah, 2: 232-233).
Keempat, tanggung jawab bersama (al-amanah) (QS. an-Nisa, 4: 48),
Kelima, independensi ekonomi dan politik masing-masing (QS. al-Baqarah, 2: 229 dan an-Nisa, 4: 20).
Keenam, kebersamaan dalam membangun kehidupan yang tenteram (as-sakinah) dan penuh cinta kasih (al-mawaddah wa ar-rahmah). (QS. ar-Rum, 30:21).
Ketujuh, perlakuan yang baik antar sesama (mu’asyarah bil ma’ruf) (QS. an-Nisa, 4:19).
Kedelapan, berembug untuk menyelesaikan persoalan (musyawarah) (QS. al-Baqarah, 2:233, Ali Imran, 3:159, dan Asy-Syura, 42:38).
Prinsip-prinsip ini, menurut Aisyah Ra menjadi dasar pemaknaan ulang terhadap beberapa hadis yang secara literal mengandung makna-makna yang tidak adil terhadap perempuan.
Pemaknaan ulang juga dilakukan dengan penelusuran asbab al-wurud, untuk mengaitkan teks dengan konteksnya.
Misalnya, hadis tentang kewajiban bagi perempuan yang akan bepergian untuk mengikut sertakan kerabatnya. Hadis ini tidak semestinya kita pahami sebagai pelarangan perempuan untuk pergi melakukan aktivitasnya. Tetapi merupakan konsep perlindungan terhadap perempuan, yang pada masa Nabi ditekankan kepada keluarga masing-masing.
Saat ini, perlindungan merupakan kewajiban masyarakat, atau lebih tepatnya adalah kewajiban negara terhadap rakyatnya. Pada prinsipnya, setiap orang, perempuan sekalipun harus kita beri kesempatan melakukan aktivitas dalam kerja-kerja positif, dan untuk itu semua komponen harus memberikan perlindungan.
Nabi SAW sendiri setelah mengungkapkan kewajiban mahram itu, ketika ada seorang sahabat yang menanyakan bahwa istrinya pergi sendirian menunaikan haji, Nabi tidak melarang atau menyalahkan perempuan, tetapi balik menyatakan:
“Pergi susullah istrimu dan temani ia menunaikan hajinya”. Padahal laki-laki itu awalnya ingin pergi berperang bersama Rasul (lihat: Ibn al-Atsir, juz VI, hal. 17). []