Sejak di sekolah dasar saya memiliki minat tinggi terhadap seni dan teknologi, yang akhirnya terbawa hingga sekarang saat saya dewasa. Salah satu produk kolaborasi dua bidang tersebut adalah fotografi. Dari sini, saya banyak terinspirasi oleh fotografer-fortografer senior seperti Don Hasman, Steve McCurry, dan Darwis Triadi.
Bahkan di bangku sekolah menengah atas, saya mulai menyisihkan uang saku untuk membeli kamera DSLR. Setahun kemudian, setelah uang saya cukup, saya memutuskan membeli Nikon D7000 dan lensa Nikkor 35mm. Berbekal kamera andalan itu, saya pun kemudian terlatih untuk melihat sesuatu dengan sudut pandang berbeda serta mencari keindahan visual dari tiap objek yang saya temui.
Tak dinyana, kontrak profesional pertama fotografer saya datang dari sebuah butik. Girang sekali rasanya ketika saya dapat dihargai atas dasar kapasitas personal. Dan pada salah satu sesi foto produk gaun sejenis royal dress yang memperlihatkan setengah dada bagian atas, yang diperagakan oleh seorang model profesional yang menurut saya cantik.
Tiba-tiba mendadak terjadi ‘insiden’. Di tengah-tengah sesi foto, ada bagian bra si model yang menyembul keluar di bagian pinggir. Karena warnanya sangat kontras dengan gaun yang sedang dipakai, estetika foto saya menjadi kurang maksimal. Saya mencoba memberi tahu si model agar berbenah, namun sampai beberapa kali sesi, ia masih juga tidak memperbaikinya sehingga hasil foto terlihat sangat kontras warnanya di kamera.
Karena tidak mau buang-buang waktu lagi, akhirnya saya memutuskan untuk merapihkannya dengan tangan saya sendiri. Karena si model juga profesional, dia tidak keberatan dan justru berterimakasih kepada saya yang telah membantunya. Akhirnya sesi foto kami selesai juga. Saya yang ditemani beberapa kru lighting akhirnya pulang dengan perasaan lega.
Di tengah perjalanan, salah satu teman kru saya membuka obrolan perihal ‘insiden’ tadi dengan sedikit cekikikan,“enak bener kamu Bib, bisa megang-megang model cantik gitu.”
“Kenapa?” saya setengah menanggapinya sembari tetap fokus menggeser layar kamera untuk melihat kembali beberapa hasil sesi foto yang kami ambil tadi.
“Iyalah enak, mana yang dipegang yang empuk-empuk lagi..” teman saya yang satunya menimpali dari kursi kemudi sambil tertawa kecil. Saat itu saya tidak menggubris candaan itu dan memilih meneruskan melihat-lihat hasil foto komersil pertama saya tadi.
Memang benar, secara psikologis laki-laki umumnya adalah makhluk visual. Saya pun demikian, apalagi sebagai orang yang menggemari fotografi yang menuntut kepekaan optis yang lebih. Demikian halnya teman-teman saya tadi, mereka cenderung melihat objek mereka sebagai objek visual juga, sehingga ketika mereka melihat saya merapihkan pakaian sang model, yang mereka tangkap bukan sisi profesionalitas, namun ketertarikan laki-laki pada fisik menarik sang model.
Kecenderungan laki-laki sebagai makhluk visual memang sesuatu yang wajar, karena sisi rasional kami lebih dominan dibandingkan sisi emosionalnya. Berbeda halnya dengan perempuan. Lagi pula kecenderungan ini tidak bersifat paten dan mutlak, tiap laki-laki saya kira bisa berbeda perspektif dan orientasi melihat lawan jenis hanya sebatas fisik semata tanpa pertimbangan lainnya adalah hal yang dinamis, seiring kedewasaan diri dan bertambahnya wawasan.
Yang menjadi masalah adalah ketika kecenderungan menjadi makhluk visual ini berada pada kadar yang berlebihan dan efek sampingnya kemudian lebih menjurus ke seksualitas. Kecenderungan semacam ini akan merusak sekali, ketika laki-laki sebatas melihat perempuan sekedar sebagai makhluk pemuas hawa nafsu. Sehingga standarnya hanya berhenti pada besar tidaknya payudara, montok tidaknya pinggul, dan semacamnya.
Melihat lawan jenis sebatas sebagai objek seksual juga menjadi alasan dari banyaknya kasus pelecehan di masyarakat kita. Tidak hanya sampai disitu sebenarnya, karena persepsi tersebut, sebagian besar perempuan menilai bahwa kecantikan dan keindahan mereka itu hanya bergantung pada ‘seksi’ tidaknya bentuk tubuh yang dimiliki. Sehingga, mereka rela mengeluarkan banyak uang untuk mencapai ‘kesempurnaan’ fisik yang mereka inginkan, meski itu berbiaya mahal serta berisiko, seperti memasang implan di bagian tubuh tertentu, sulam bibir plus alis, dan sebagainya.
Saya pribadi tidak masalah dibilang makhluk visual. Ya, saya memang demikian. Lagi pula Tuhan menciptakan bentuk tubuh dan wajah kita berbeda-beda. Memang bukan untuk jadi patokan satu-satunya, tapi sedikit banyak itu akan berpengaruh terhadap cara kita melihat. Menjadi makhluk visual buat saya adalah bentuk penerimaan terhadap perbedaan biologis. Tetapi menjadikannya sebagai alasan untuk melihat orang lain hanya sebagai objek seksual semata, itu adalah penyakit akut yang harus segera disembuhkan.
Hal ini juga mengingatkan saya akan pengantar materi Ngaji KGI bersama Dr. Nur Rofiah. Beliau menyampaikan bahwa budaya patriarkis sering menjebak laki-laki dan perempuan dalam kerangka dikotomis: laki-laki disayang karena kemampuan finansialnya, sedangkan perempuan dicinta karena fisiknya. Ke depan, jika stigma tadi terus bertahan, terutama dalam hubungan suami-istri, yang terjadi adalah kerapuhan fondasi rumah tangga dengan risiko perceraian.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Karena seiring waktu, tentu perempuan akan menua dan tidak lagi menarik secara fisik, begitu halnya laki-laki, kebangkrutan secara ekonomi bisa terjadi sewaktu-waktu. Jika cara pandang tersebut tetap dipertahankan, tentu rasa cinta tidak akan bertahan lama: ibarat habis manis, sepah dibuang.
Oleh karenanya, Bu Nur, begitu beliau akrab disapa, menasihati kami agar senantiasa melihat sesama makhluk dengan kaca mata kemanusiaan dan persaudaraan dengan bingkai keimanan serta ketaqwaan pada Yang Maha Kuasa. Sebab fondasi agama akan mendorong kita untuk terus menerus berbuat baik tanpa sekat dan embel-embel personal, baik itu dari segi fisik maupun material.
Dari situ lah saya menyadari: seiring waktu dan berinteraksi dengan banyak hal dalam hidup, perspektif saya tentang apa yang menarik menjadi jauh lebih luas. Bahwa segala sesuatu, sebagaimana pesan Bu Nur dan Om Arbain Rambey, memiliki sisi ‘cantik’ dan ‘indah’-nya sendiri, tidak sekadar fisik semata.[]