Mubadalah.id – Perempuan ramah berkerudung itu sudah berusia di atas kepala lima. Meski begitu, ia kelihatan lebih muda dari usia sebenarnya. “Mbak Ning”, saya biasa memanggilnya dengan nama itu tanpa tahu siapa nama panjangannya. Gaya bicaranya halus namun sarat keceriaan.
Dengan logat jawa khas Semarang ia bisa menjelaskan setiap perkara rumit menjadi mudah dimengerti. Logatnya medok tanpa dibuat-buat. Beda dengan logat jawa yang diucapkan oleh Dian Sastro dalam Film Gadis Kretek.
Saya diperkenalkan oleh istri sebagai teman satu sekolah dulu saat sama-sama tinggal di Semarang. Setelah duduk di mobil, telpon genggamnya berbunyi. Suara tukang ojek online itu terdengar jelas. Ia mengabarakan bahwa pesanan makanan sudah diantarkan ke kantor, tetapi tidak ada orang. Mbak Ning kaget, makanan yang ia pesan sore tadi itu untuk diantarkan besok pagi, dan akan disajikan untuk rapat staf di pagi hari.
Saya terkesan dengan caranya mengatasi masalah yang seharusnya menjengkelkan. Sikapnya tenang, ia memaklumi bahwa tukang ojol itu pasti tidak tahu menahu soal jadwal pemesanan. Alih-alih marah ia malah meminta pengantar makanan itu untuk membawa makanan itu ke rumah untuk disantap bersama keluargannya.
Peristiwa sekilas itu sungguh menakjubkan. Impresi batin saya menyimpulkan bahwa perempuan ini berbudi baik, berusaha ikhlas, gemar berbagi dan tidak mudah menyalahkan orang lain.
Kisah Asmara
Mbak Ning menikmati dunia kerja yang mampu mengantarkannya pada kehidupan nyaman di pinggiran Jakarta. Rumah pribadinya nyaman, asuransi kesehatan, tabungan hari tua. Semua telah ia persiapkan dengan matang. Ia tidak memiliki kendaraan pribadi karena sarana transportasi dari rumah ke kantornya cukup mudah. Waktu luang selama berada di kendaraan umum menuju kantor ia gunakan untuk membaca berita, cerpen hingga novel.
Sejak remaja, ia sudah terbiasa hidup mandiri. Ia mampu menyelesaikan semua persoalan hidupnya tanpa intervensi keluarga. Kedua orang tua dan saudara dekatnya hidup terpisah. Realitas kehidupan itu telah membentuk karakternya menjadi perempuan yang ulet, tekun, disiplin dan mendiri.
Dalam sebuah perjalanan dinas menuju Sulawesi, ia duduk bersebelahan dengan laki-laki sebaya yang kelihatan baik. Seperti skenario langit, malaikat telah mengatur tempat duduk dua makhluk itu duduk di kursi 42C dan 42B. Biasannya ketika sudah duduk di kursi pesawat dengan nyaman, ia akan segera memejamkan mata lalu tidur pulas. Kali ini matannya tidak bisa benar-benar terpejam. Suara hatinnya menuntun untuk menyisakan ruang kecil di kelopak matannya untuk bisa melihat wajah lelaki yang duduk di sebelahnya.
Getar Cinta
Saat pramugari menyajikan teh hangat, tiba-tiba terjadi turbulensi pesawat hingga menumpahkan air teh itu ke celana Mbak Ning. Secara spontan, lelaki itu mengeluarkan sapu tangan dan tisu sekaligus lalu menyodorkan kepadanya. Saking kagetnya, mata dia hanya mampu menatap tajam wajah lelaki itu namun mulutnya tertutup rapat.
Meski tisu dan sapu tangan sudah ada di tangannya, namun tetap tidak ia gunakan untuk mengelap celana yang basah. Batinnya bertumpu pada pesona rasa yang mendebarkan saat tangan perempuan dan laki-laki saling bersentuhan ketika menyodorkan kain sapu tangan. Sentuhan kecil itu laksana aliran listrik yang mengagetkan.
Perbincangan hangat selama dua jam terasa singkat. Pertautan batin keduannya terus tersambung secara intim melalui teknologi. Hubungan batinnya semakin menguat dengan saling berkunjung, saling mentraktir hingga saling memberi atensi pada persoalan yang lebih personal.
Sejak perkenalan, lelaki itu bersikap gentle dengan identitas dirinya sebagai duda dengan dua anak karena istrinya meninggal dunia. Puncaknya, lelaki itu ingin meningkatkan hubungan batinnya dalam ikatan perkawinan.
Perjanjian Pra Nikah
Tidak mudah bagi Mbak Ning untuk mengambil keputusan dalam perkara yang sangat penting dalam hidupnya. Langkah awal yang bisa ia lakukan adalah mengajukan penawaran dengan penuh keterusterangan kepada lelaki yang akan menikahinnya. Tawaran itu terdengar pahit, namun harus ia sampaikan dengan segala resikonya.
Pertama, Mbak Ning secara terbuka menyampaikan bahwa ia tidak terbiasa melayani pasangan di dalam hidupnya. Dia berharap, pasangan hidupnya memiliki spirit kemandirian yang sama. Mulai soal makan, pakaian, pemenuhan keperluan pekerjaan dan seterusnya. Untuk urusan domestik akan dibagi bebannya dalam prinsip kesalingan.
Kedua, perempuan ini tidak pernah memiliki pengalaman mengasuh anak. Ke depan, ia pun tidak berkeinginan untuk bisa melahirkan anak dari rahimnya. Baginya, usia yang sudah lebih dari 48 tahun sangat rawan untuk bisa mengandung dan melahirkan seorang bayi.
Ketiga, ia berkomitmen mengasuh dan mendidik anak bawaan dari suami secara bersama-sama. Pola asuh yang akan diterapkan kepada mereka sesuai dengan budaya dan karakter kemandirian hidup yang sudah terbangun di dalam dirinya selama ini.
Keempat, sebelum menikah, ia sudah memiliki properti, tabungan hari tua, asuransi dan seterusnya. Kepemilikan hal-hal tersebut tetap akan menjadi milik Mbak Ning, karena semua itu diperoleh dari hasil keringat sendiri jauh sebelum menikah.
Kelima, sebelum menikah, pasangan ini akan menandatangani surat perjanjian pra nikah yang memuat klausul di atas. Jika di kemudian hari ternyata ada ketidakcocokan sehingga tautan pernikahan berakhir, maka surat perjanjian ini akan menjadi rujukan.
Menikah
Setelah terjadi kesepakatan, ia bersedia dinikahi lelaki berusia 55 tahun. Dua orang anak bawaan suami akan menyertai kehidupan rumah tangga pasangan ini. Anak pertama perempuan kelas 3 SMA. Anak kedua laki-laki berumur 4 tahun. Tekadnya bulat untuk menjadi ibu dari ke dua anak yatim piatu itu.
Butuh waktu cukup lama untuk menoleransi suasana batin atas hadirnnya tiga orang baru di lingkungan hidupnya. Kehadiran tiga orang dengan tiga ragam kepribadian berbeda itu telah mengubah orientasi hidupnya.
Bisa dibayangkan, Mbak Ning besar dalam keluarga Jawa, sekarang harus hidup bersama suami yang berlatar belakang Sulawesi. Kedua anaknya, terbiasa diasuh oleh ibu dari Sumatera. Tekad kuat itu telah menjadi energi untuk membangun kultur baru di rumahnya. Ternyata, niat yang kuat mampu menaklukkan semua kesulitan.
Empat tahun menjalani kehidupan rumah tangga, pasangan ini merasakan kebahagiaan berarti. Keinginan keduannya untuk merintis sebuah budaya baru di dalam rumah tangga semakin terasa hasilnya. Suami menjadi sosok ayah yang sangat mandiri.
Anak-anak setiap hari melihat perilaku kedua orang tua yang sangat mendiri, sehingga tidak sulit bagi keduannya untuk menauladaninya. Kedua anak ini sudah mulai terbiasa melakukan aktivitas untuk memenuhi kebutuhan masing-masing secara mandiri.
Prahara
Tantangan berat muncul di keluarga kecil ini saat wabah Covid 19 datang. Sang bapak yang ternyata memiliki komorbid tidak mampu menahan serangan virus hingga ajal menjemputnya. Kesedihan begitu dalam dirasakan oleh keluarga ini.
Pedihnya, ketika kabar kematian itu tersiar, tidak ada satupun keluarga dari mediang suami ataupun ibu dari anak-anak yatim piatu ini yang hadir. Alasan pembatasan aktivitas karena wabah virus 19 bisa menjadi permakluman, ke tiga orang ini bisa memakluminya.
Dua anak ini menjadi yatim piatu setelah kematian sang ayah. Wajah murung hingga larut dalam kesendirian terus berlangsung selama beberapa waktu. Suatu malam menjelang tidur, Mbak Ning memanggil keduannya untuk berdiskusi.
“Setelah ayah meninggal, mama menyerahkan sepenuhnya kepada kalian berdua. Mama sangat senang jika kalian tetap tinggal di rumah ini hingga kapanpun. Namun, jika kalian memiliki pilihan lain mama tetap akan mendukung”. Tanyanya
Setelah terdiam beberapa saat, anak perempuan yang kini sudah duduk di bangku kuliah itu langsung menajwab dengan tegas; “saya ikut mama di sini, di rumah ini”
“Bagaimana dengan adik?” Tanya Mbak Ning
Dengan wajah penuh kesedihan ia menjawab;
“saya ikut kakak dan mama tinggal di sini”
Pasca Duka
Pertemuan malam itu diakhiri dengan aksi saling berpelukan dengan hangat. Air mata Mbak Ning tumpah karena kegembiraan yang belum pernah ia rasakan seumur hidupnya. Di dalam hatinya ia tak henti hentinya mengucap “alhamdulillah” sambil terus mengucap;
“Ya Allah, nikmat apa lagi yang bisa aku dustakan, sungguh aku bersyukur ya Allah…”
Selang beberapa bulan pasca kedukaan, tiba-tiba keluarga almarhum lelaki ini datang menemui ke dua yatim piatu itu. Mereka meminta tanda di surat kematian. Surat tersebut akan mereka gunakan sebagai bukti di dalam musyawarah keluarga untuk pembagian tanah warisan di kampung halaman.
Beberapa bulan berikutnya, keluarga almarhumah ibu ke dua anak yatim piatu itu juga datang jauh dari kampung halaman. Keperluannya sama, mereka meminta keduanya menandatangani surat kematian ibunya yang sudah beberapa tahun lamannya. Surat tersebut juga diperlukan untuk pembagian tanah warisan.
Beberapa tahun berlalu, kedua anak yatim piatu itu tidak pernah lagi mendapat berita apapun tentang pembagian tanah warisan dari almarhum Bapak atau almarhumah Ibu. Hanya ada kabar angin dari saudara jauh bahwa tanah warisan dari kakek-neneknya sudah habis dibagi kepada saudara-saudara Bapak.
Begitupun kabar remang-remang dari keluarga almarhumah ibu. Bagi anak perempuan pertama yang sedang menempuh kuliah di bidang hukum, kenyataan itu terus menyisakan pertanyaan yang tidak pernah ia temukan jawaban.
Dua anak yatim piatu itu terus berjuang menaklukkan tantangan hidup demi merintis harapan. Sementara saudara bapak dan ibunya berpesta menikmati warisan kakek-neneknya. Mbak Ning terus bekerja keras menemani dua makhluk Allah yang mulia itu untuk menggapai harapan.
Mbak Ning, jalan ke surga telah engkau rintis. Meski lelah, namun sinar matahari dan bulan itu selalu menerangi jalanmu. Ia nampak terang sekali, meski ada dalam kegelapan mata. Karena menyantuni anak yatim itu mulia, maka surga itu ada padamu. (Bersambung).