Mubadalah.id – Sayyidah Nafisah. Ia anak perempuan al-Hasanal-Anwar bin Zaid al-Ablaj bin al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Maka ia cicit Nabi Muhammad. Namanya dikenal sebagai seorang perempuan ulama terkemuka pada masanya.
Para ulama menyebutnya “Nafisah al-‘Ilmi”, karena ia merupakan sumber ilmu pengetahuan keislaman yang berharga (Nafisah al-‘Ilm). Ia juga seorang pemberani, sekaligus ‘abidah zahidah (tekun menjalani ritual dan asketis). Sebagian bahkan mengategorikannya sebagai wali perempuan dengan sejumlah keramat. Ia wafat tahun 208 H.
Imam al-Syafi’i sudah lama mendengar ketokohan perempuan ulama ini dan mendengar pula bahwa banyak ulama yang datang ke rumahnya untuk mendengarkan pengajian dan ceramah yang diselenggarakannya setiap hari. Al-Syafi’i datang ke kota ini lima tahun sesudah Sayyidah Nafisah menetap di kota ini.
Beberapa waktu kemudian al-Syafi’i mengirim surat kepadanya yang berisi permohonan bisa bertemu dengannya di rumahnya, sekaligus mengaji kepadanya, Sayyidah Nafisah menyambutnya dengan seluruh kehangatan dan kegembiraan.
Ia juga sudah mendengar kecerdasan al-Syafi’i. Perjumpaan itu dilanjutkan dengan pertemuan-pertemuan yang sering. Masing-masing saling mengagumi tingkat kesarjanaan dan intelektualitasnya. Bila al-Syafi’i berangkat untuk mengajar di masjidnya di Fustat, ia mampir ke rumahnya, begitu juga ketika pulang kembali ke rumahnya. Dikabarkan bahwa al-Syafi’i adalah:
“Ulama yang paling sering bersamanya dan mengaji kepadanya, justru dalam statusnya sebagai tokoh besar dalam fiqih.”
Pada bulan Ramadhan, al-Syafi’i juga acap shalat tarawih bersama Nafisah di masjid perempuan ulama ini. (Kana Yushalli biha al-Tarawih fi Masjidiha fi Syahri Ramadhan).
Kalimat ini diperdebatkan maknanya: apakah ia berarti bahwa al-Syafi’i menjadi makmum dari Sayyidah Nafisah, meski dalam ruang yang terpisah? Kali ini tak penting diurai.
Sayyidah Nafisah Mendoakan al-Syafi’i
Manakala Imam al-Syafi’i sakit, ia mengutus sahabatnya untuk meminta Sayyidah Nafisah mendoakan bagi kesembuhannya. Begitu ia kembali, sang Imam tampak sudah sembuh.
Dan ketika dalam beberapa waktu kemudian al-Imam sakit parah, sahabat tersebut ia minta untuk kembali menemui Sayyidah Nafisah untuk keperluan yang sama.
Mohon doa untuk kesembuhan. Kali ini, Sayyidah Nafisah hanya mengatakan, “Mattaahu Allah bi al-Nazhr Ila Wajhih al-Karim” (Semoga Allah memberinya kegembiraan ketika berjumpa dengan-Nya).
Mendengar ucapan sahabat sekaligus gurunya itu, al-Syafi’i segera paham bahwa waktunya sudah akan tiba. Sebentar lagi. Imam al-Syafi’i kemudian berwasiat kepada murid utamanya.
Al-Buwaithi, meminta agar Sayyidah Nafisah menshalati di atas jenazahnya, jika kelak dirinya wafat. Ketika al-Syafi’i kemudian wafat, jenazahnya dibawa ke rumah perempuan ulama tersebut untuk dishalatkannya. []