Mubadalah.id – Simposium Best atau Beda Setara telah selesai digelar. Acara ini berlangsung selama dua hari, yakni Kamis-Jumat (15-16/11/2024) di Convention Hall UIN Sunan Kalijaga.
Acara ini merupakan bagian dari rangkaian Festival Beda Setara atau Best Fest yang digelar selama satu minggu penuh. Simposium yang mengusung tema “Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) sebagai Kritik Sosial untuk Kewargaan yang Berkeadilan” itu menghasilkan sembilan rekomendasi.
Rekomendasi dibacakan oleh Direktur Jaringan GUSDURian Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid atau Alissa Wahid dan Koordinator Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan GUSDURian Jay Akhmad didampingi oleh para dewan pengarah Jaringan GUSDURian, direktur lembaga dalam jaringan, koordinator wilayah Jaringan GUSDURian, serta tim perumus.
Pembacaan rekomendasi didahului dengan pengantar yang dibawakan oleh Koordinator Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan GUSDURian Jay Akhmad.
“Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan dalam melindungi kemerdekaan beragama dan berkeyakinan (KBB) bagi warganya. Fenomena berkembangnya peraturan perundang-undangan diskriminatif, baik di tingkat nasional maupun lokal, memperlihatkan adanya kecenderungan mayoritarianisme yang memberikan kewenangan kepada negara atau kelompok mayoritas untuk menentukan keyakinan yang ia anggap benar atau salah,” kata Jay.
Sembilan Rekomendasi
Berikut adalah sembilan rekomendasi yang dihasilkan Simposium Beda Setara 2024:
Pertama, mendorong pemerintah pusat untuk mengambil inisiatif dan langkah aktif untuk menghapus atau merevisi berbagai peraturan perundang-undangan yang bersifat diskriminatif, seperti UU No. 1/PNPS/1965, Undang-undang ITE, Undang-undang Administrasi dan Kependudukan (Adminduk) dan lainnya. Upaya ini sekaligus sebagai wujud nyata dari komitmen Asta Cita dalam memperkokoh ideologi Pancasila, demokrasi, dan penghormatan terhadap HAM.
Kedua, mendorong Kementerian HAM untuk secara proaktif mendorong penghapusan serta revisi terhadap peraturan perundang-undangan yang mengandung unsur diskriminasi untuk menciptakan lingkungan hukum yang lebih inklusif dan adil.
Ketiga, mendorong Kementerian PPN/Bappenas melalui Direktorat Hukum dan Regulasi untuk memperkuat pemetaan. Serta penetapan kebutuhan regulasi yang mendukung penguatan jaminan HAM dan kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB).
Keempat, mendorong Kepala Daerah terpilih untuk memberlakukan moratorium terhadap penggunaan regulasi diskriminatif. Dan lebih berfokus pada penguatan layanan publik yang bersifat inklusif dan non-diskriminatif.
Melalui Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkominda), Kepala Daerah juga penting mengambil langkah proaktif dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB). Serta mendorong implementasi program-program yang mempromosikan toleransi dan penghormatan terhadap KBB di masyarakat.
Menghapus atau Revisi Kebijakan Diskriminatif
Kelima, mengajak masyarakat sipil untuk mengadvokasi penghapusan atau revisi kebijakan diskriminatif seperti UU Cipta Kerja, UU ITE, serta regulasi daerah. Masyarakat sipil juga dapat memanfaatkan jendela kebijakan seperti Ranperpres PKUB, Perpres no. 58/2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama. Dan RPJMN 2025-2029 untuk mengarusutamakan KBB.
Keenam, mengajak masyarakat sipil untuk memperkuat advokasi regulasi perlindungan bagi pembela HAM, memperluas jejaring advokasi regional dan internasional. Serta mempromosikan KBB sebagai perspektif kritis dalam program negara, seperti Moderasi Beragama dan perda toleransi.
Ketujuh, mengajak masyarakat sipil menggunakan kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) sebagai pendekatan kritis dan interseksional. Serta mengarusutamakan kesetaraan gender, disabilitas, inklusi sosial, dan lingkungan dalam isu KBB.
Kedelapan, mengajak masyarakat sipil untuk mempersiapkan aktor-aktor baru yang berperspektif KBB untuk mengisi institusi negara dan memperkuat kemitraan kritis dengan pemerintah guna mendorong jaminan KBB.
Kesembilan, mengajak masyarakat sipil memaknai ulang konsep negara seperti kerukunan, harmoni sosial, dan beragama maslahah untuk memperkuat narasi yang inklusif dan menjamin pemenuhan hak beragama dan berkeyakinan. (rilis)