Mubadalah.id – Beberapa malam lalu, saya menjadi saksi bahwa Jogja adalah kota yang berkebudayaan dan sangat hangat terhadap perjuangan orang orang yang luar biasa. Perjuangan dunia kerja yang carut marut ini, teman difabel masih berjuang dalam bertahan untuk hidup. Merekalah orang yang luar biasa.
Difabel yang sering mendapat stigma keterbatasan kemampuan itu membuktikan tegarnya hidup dengan hanya senyuman. Tepat di pangkalan Ojol Grab di sekitar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, saya melihat 4 (1 cewek 3 cowok) teman disabilitas sedang menjemput rezeki.
Seperti umumnya, menjadi ojol sudah pasti menunggu orderan sambil nongkrong bareng sejawatnya. 4 orang difabel itu dengan raut wajah sumringah bak tanpa beban. Senyum dan ketawanya menarik orang sekitar memperhatikan kebahagiaannya.
Saya kurang tau persis kategori apa 4 penyandang disabilitas tersebut, namun yang paling pasti mereka berinteraksi dan komunikasi dengan jari yang berwibawa itu. Salah satu yang saya lihat adalah stiker yang ada pada 1 orang yang pergi menjemput customer, bagian belakang helm nya terpampang stiker gambar telinga yang bertuliskan “Tuli”.
Cerita singkat itu mengantarkan saya kepada pemahaman bahwa dunia kerja merupakan kesempatan bagi ia yang mau bekerja. Namun, pemerataan kebutuhan dan aksesibilitas apakah telah sepadan? Bagaimana dengan dunia kerja bagi penyandang disabilitas? Kalau kata Cak Fuad “Zaman rekoso, sing gak difabel wae susah golek kerjo, opo meneh sing difabel ”
Kerja dan Kemandirian di Atas Roda
Salah satu alternatif dunia kerja bagi difabel adalah mandiri di atas roda, yapss betul, menjadi Ojek Online Grab. Roda dua, yang terlihat selalu bersandingan dengan aspal ditangan penyandang disabilitas ia menjadi poros kehidupan.
Demikian karena fakta mengatakan bagi banyak difabel masuk ke dunia kerja formal dan konvensional menjadi tantangan besar. Mulai dari faktor yang belum inklusif, proses rekruitmen yang diskriminatif, hingga asumsi bahwa keterbatasan fisik merupakan keterbatasan kemampuan.
Rentang waktu 2 tahun (2017-2019) grafik berdasarkan capaian Pendidikan mengatakan, penyandang disabilitas SMA Se-derajat mayoritas bekerja dengan usaha sendiri dan terbantu oleh buruh tidak tetap. Dan Diploma, S1, S2 dan S3 bekerja sebagai buruh/karyawan serta pegawai.
Hal itu merepresentasikan kemandirian penyandang disabilitas dalam hidup, tapi negara jarang meliriknya. Meskipun menjadi ojol adalah suatu alternatif, tapi teman difabel acapkali menelan kepahitan, misalkan : sering mendapat diskriminasi dari pelanggan, sengaja melakukan pembatalan pesanan, dan rating rendah.
Lagi-lagi memang betul kata Cak Fuad :
“Persoalan inti penyandang disabilitas adalah faktor lingkungan dan sikap masyarakat kepadanya. Karena paradigma negatif yang selalu hadir kerap berkembangbiak sehingga menimbulkan stigma serta tindakan yang merugikan. Oleh karena itu, paradigma disabilitas secara sosial sudah saatnya dikonstruksikan.”
Alih-alih kerja mandiri, terselip pertanyaan, semua orang juga bisa mandiri, lain lagi dengan teman difabel. Saya rasa lebih membutuhkan aksesibilitas dan mobilitas yang memadai. Maka pertanyaannya sejauh mana dunia kerja peduli dengan penyandang disabilitas? Sementara kuota tenaga kerja disabilitas hanya 1% swasta dan 2% BUMN.
Di Balik Senyum itu, Ada Harapan
Senyum dari jok motor itu saya rasa bukan basa-basi. Bagi saya itu adalah senyum dari orang-orang yang terus jatuh, bangkit, tumbuh, dan melaju ke depan untuk lanjut. Kerja keras yang telah penyandang disabilitas lakukan dengan inheren menyajikan pesan bahwa manusia adalah makhluk yang bermartabat. Karena martabat itu bersifat mulia, maka tindakan karitatif selayaknya dihindari.
Senyum, selain itu sunnah, ia juga bernilai harapan bagi difabel. Dengan roda dua penyandang disabilitas berdikari, harapan-harapan yang muncul sering menyelimutinya, tidak lain harapan ini tanpa mengandung unsur belas kasihan, tapi lebih ke aspek sosial dan humanisme.
Seperti harapan untuk diterima sebagai manusia yang utuh dalam dunia kerja, juga harapan untuk mandiri dengan menikmati fasilitas yang aksesibel terhadapnya, serta harapan untuk dunia yang inklusif.
Jadi, dunia pekerjaan hari ini memang tidak baik-baik saja. Namun ada manusia yang memperjuangkan hidup, hak, dan jaminan sosialnya lebih ekstra. Betul, mereka adalah teman Difabel. Semoga stigma buruk yang selalu tertuju pada difabel akan musnah, dunia pekerjaan yang memadai, lingkungan sosial jadi lebih inklusif, dan kesadaran diri untuk bangkit bagi penyandang disabilitas adalah hal penting. []