Mubadalah.id – Di dalam ajaran Islam, tidak ada seorangpun berhak melakukan kekerasan terhadap perempuan, seperti pemukulan, apalagi dengan alasan pendidikan.
Termasuk, pemukulan, atau segala bentuk perilaku kekerasan terhadap istri, bukan merupakan bentuk pergaulan yang baik (mu’asyarah bil ma’ruf) seperti diperintahkan al-Qur’an, tidak sesuai dengan anjuran penghormatan terhadap perempuan (ina akramahunna illa karim) dan bentuk pelanggaran terhadap wasiat Nabi Saw untuk berbuat baik terhadap perempuan (ishtaushu bin nisa’i khairan).
Lebih dahsyat lagi, mereka yang memukul istri, Nabi Saw mencapnya sebagai orang-orang yang jahat dan busuk (laysa ulaika bikhiyarikum). Memukul istri, apapun alasannya, adalah bertentangan dengan anjuran, harapan dan perilaku sehari-hari Nabi Saw terhadap para istri.
Nabi Saw sendiri bersedia bersabar ketika menghadapi berbagai perbedaan dan perlakuan dari istri beliau. Bahkan memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengekspresikan keinginan mereka, memberikan masukan dan menentukan pilihan yang sesuai dengan harapan mereka. Tanpa ada kata-kata penghinaan, pelecehan, menghardik, apalagi ucapan-ucapan keji dan kotor.
Mungkin beberapa orang dari umat Islam kecewa melihat perilaku Aisyah ra atau Hafsah ra yang pernah menggugat Nabi Saw, memalukan. Bahkan memboikot untuk tidak berhubungan intim selama dua bulan.
Di antara mereka ada yang mencap Aisyah ra kafir, atau fasiq, atau paling tidak dianggap perempuan yang emosional, penuh rasa cemburu, sombong dan karena umurnya yang masih muda kurang pertimbangan yang matang. Sebagian memahami sebagai ijihad Aisyah ra, yang jika benar memperoleh dua pahala, jika salah akan memperoleh satu pahala.
Mengangkat Harkat dan Mendidik Kemandirian Perempuan
Lebih dari itu, ada yang berpendapat bahwa keberanian Aisyah ra terhadap Nabi Saw adalah cermin dari keberhasilan Nabi Saw mengangkat harkat dan mendidik kemandirian perempuan.
Perempuan, seperti dikatakan Umar ra, pada masa itu tidak memiliki tempat sama sekali. Mereka tidak pernah diperhitungkan, tidak pernah diajak bicara, dan kalaupun berbicara tidak akan diterima. Umar ra sendiri, seperti dikatakanya masih tidak suka melihat istrinya membantah apa yang dikatakannya.
Tetapi menanamkan kesadaran revolusioner untuk membuat perempuan menjadi manusia mandiri, yang Nabi Saw hargai dan hormati kemanusiaannya.
Kemudian, Nabi Saw juga lebih memilih menegosiasikan kesepakatan keluarga dengan istri-istri mereka. Bahkan memberikan hak sepenuhnya untuk memberikan pilihan terhadap apa yang mereka inginkan.
Nabi Saw menerima untuk digugat, dipermalukan, bahkan diboikot, sebagai proses pendidikan kemandirian perempuan untuk menentukan pilihan mereka. []
Sumber: Buku Pertautan Teks dan Konteks dalam Muamalah karya Dr. Faqihuddin Abdul Kodir.