• Login
  • Register
Senin, 30 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Tradisi Ngamplop dalam Pernikahan: Jangan Sampai Menjadi Beban Sosial

Bagi saya tak sepantasnya tradisi ngamplop membuat seseorang terbebani. Apalagi sampai merasa berdosa atau diputus tali silaturahmi hanya karena tak mampu memberi amplop.

Nani Munayah Nani Munayah
29/06/2025
in Personal
0
Tradisi Ngamplop

Tradisi Ngamplop

503
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Tradisi ngamplop ini merupakan salah satu bentuk gotong royong, saling membantu dalam suka cita.

Mubadalah.id – Setiap pagi, selepas Salat Shubuh, Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina rutin menggelar diskusi yang diikuti oleh seluruh mahasantriwa, baik laki-laki maupun perempuan.

Kitab yang kami diskusikan kali ini adalah Matan Taqrib karya Imam Abu Syuja’ yang dipandu langsung oleh pengasuh pesantren, KH. Marzuki Wahid, atau yang akrab kami panggil Abi Marzuki. Beliau selalu memberi ruang bagi para santri untuk bertanya, berpendapat, bahkan berdebat secara sehat.

Adapun pembahasan pada kali ini adalah tentang bab walimah, yang dipresentasikan kelompok Sayyidah Khadijah, beranggotakan Sukma, Yazid, Rinrin, Bibah, Najlah, Dila, dan saya sendiri.

Diskusi ini ternyata membuka banyak pengalaman personal terkait tradisi yang sudah mengakar di masyarakat yaitu membawa amplop saat menghadiri pesta pernikahan.

Baca Juga:

Bias Kultural dalam Duka: Laki-laki Tak Boleh Sepi, Perempuan Harus Mengisi

Bukan Tak Mau Menikah, Tapi Realitas yang Tak Ramah

Film Azzamine: Ketika Bentuk Proteksi Orang Tua Kepada Anak Perempuan Disalahartikan

Pernikahan adalah Pilihan, Bukan Paksaan

Asal-usul Tradisi Ngamplop

Dalam catatan RRI (rri.co.id), tradisi “ngamplop” sejatinya berakar dari kebiasaan “nyumbang” atau memberi bantuan. Di mana tamu undangan membawa bahan makanan atau hasil bumi untuk membantu tuan rumah menggelar pesta.

Seiring berjalannya waktu, bentuk bantuan itu berubah menjadi uang tunai dalam amplop, namun maknanya tetap yaitu sebagai wujud dukungan dan doa restu bagi pasangan pengantin.

Sayangnya, dalam praktiknya hari ini, tradisi ini kerap bergeser menjadi semacam kewajiban, bahkan dianggap hutang yang harus dibayar. Hal inilah yang muncul dalam diskusi kami.

Salah seorang teman, Rukoya, menceritakan pengalamannya di kampung halaman. “Teman saya pernah tidak datang ke pernikahan karena tidak punya uang untuk mengamplop. Tapi beberapa waktu kemudian, si pengantin malah menagih amplopnya, menganggap itu hutang,” ujarnya.

Saya sendiri pun pernah merasakannya. Beberapa kali, saya menolak hadir ke undangan pernikahan teman hanya karena malu belum punya uang untuk amplop. Bahkan, salah satu teman akhirnya lost contact hingga sekarang.

Dengan begitu, perasaan bersalah selalu menghantui saya, seakan menghadiri walimah tanpa amplop adalah aib besar.

Padahal, usai diskusi ini, saya sadar bahwa esensi undangan walimah bukan pada amplop, melainkan kehadiran kita sebagai bentuk dukungan dan doa.

Penjelasan Soal Tradisi Ngamplop Menurut Taqrib

Dalam Matan Taqrib dijelaskan, walimah adalah jamuan makan yang diselenggarakan untuk merayakan pernikahan (walimatul ‘urs) sebagai wujud syukur sekaligus mengumumkan pernikahan kepada masyarakat.

Hukum mengadakan walimah adalah sunah muakkad (sangat dianjurkan), sedangkan menghadiri undangannya hukumnya wajib (fardhu ‘ain), kecuali jika ada udzur yang dibenarkan syariat.

Abi Marzuki pun menegaskan, “Kalau tidak punya uang dan tidak mampu hadir, tidak apa-apa. Tapi jika tidak punya uang namun bisa hadir, maka wajib datang. Karena menghadiri undangan walimah itu wajib, sedangkan memberi amplop hanyalah tradisi.”

Oleh karena itu, bagi saya tak sepantasnya tradisi ngamplop membuat seseorang terbebani. Apalagi sampai merasa berdosa atau diputus tali silaturahmi hanya karena tak mampu memberi amplop.

Karena sejatinya, tradisi ngamplop ini merupakan salah satu bentuk gotong royong, saling membantu dalam suka cita. Namun kita perlu menempatkannya secara proporsional. Jangan sampai budaya luhur ini berubah menjadi tekanan sosial yang memaksa, bahkan menjelma menjadi tagihan hutang yang justru merusak makna silaturahmi.

Kehadiran kita di walimah adalah yang utama, sedangkan amplop hanyalah pelengkap yang tidak wajib menurut syariat. Mari terus menjaga tradisi dengan bijak, tanpa melupakan ruh ajaran Islam yang menekankan kemudahan, keikhlasan, dan saling meringankan beban. []

Tags: Beban SosialJanganpernikahanTradisi Ngamplop
Nani Munayah

Nani Munayah

Saya adalah Mahasantriwa SUPI ISIF Cirebon dari Brebes yang suka Sholawatan dan Hobi Solo Riding, serta founder dari @hadrohannashwa.

Terkait Posts

Second Choice

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

30 Juni 2025
Humor Seksis

Tawa yang Menyakiti; Diskriminasi Gender Di Balik Humor Seksis

26 Juni 2025
Kekerasan Seksual

Kekerasan Seksual Bisa Dicegah Kalau Islam dan Freud Ngobrol Bareng

26 Juni 2025
Menemani Laki-laki dari Nol

Bagaimana Mubadalah Memandang Fenomena Perempuan yang Menemani Laki-laki dari Nol?

25 Juni 2025
Bias Kultural

Bias Kultural dalam Duka: Laki-laki Tak Boleh Sepi, Perempuan Harus Mengisi

24 Juni 2025
Mau Menikah

Bukan Tak Mau Menikah, Tapi Realitas yang Tak Ramah

24 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Geng Motor

    Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fikih yang Berkeadilan: Mengafirmasi Seksualitas Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jangan Tanya Lagi, Kapan Aku Menikah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tradisi Ngamplop dalam Pernikahan: Jangan Sampai Menjadi Beban Sosial

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas
  • Meninjau Ulang Cara Pandang terhadap Orang yang Berbeda Keyakinan
  • Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?
  • Tradisi Ngamplop dalam Pernikahan: Jangan Sampai Menjadi Beban Sosial
  • Fikih yang Berkeadilan: Mengafirmasi Seksualitas Perempuan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID