Mubadalah.id – Pencorengan terhadap toleransi di Indonesia kembali terjadi. Baru-baru ini terjadi sebuah kasus pelarangan kegiatan kerohanian yang diikuti oleh pelajar SMP sebuah sekolah Kristen. Tidak hanya melarang dan menghentikan kegiatan, massa juga merusakan sejumlah barang yang ada dalam rumah tersebut. Lagi – lagi aksi intoleransi kembali membawa luka.
Kejadian tersebut terjadi di daerah Sukabumi, Jawa Barat. Kejadian bermula ketika ada rombongan pelajar SMP Kristen yang mengadakan retret di salah satu villa milik warga setempat yang juga seorang Kristiani. Warga sekitar yang merasa terganggu dengan kegiatan tersebut langsung menyerang rumah singgah retret tersebut.
Ketika Beribadah Membutuhkan Izin Mayoritas
Massa memaksa masuk ke dalam rumah tersebut dan merusak sejumlah fasilitas. Tak hanya itu, mereka juga meneriakkan kata-kata yang tidak pantas kepada guru dan murid yang sedang retret. Mereka meminta pihak sekolah untuk membubarkan kegiatan tersebut karena dinilai sangat mengganggu. Massa yang melakukan pengusiran dan perusakan ini merasa bahwa kegiatan tersebut tidak sesuai dengan izin.
Kegiatan yang seharusnya menjadi waktu untuk tenang, hening, dan penuh kedamaian berubah seketika menjadi sebuah ketakutan. Bagaimana tidak, massa dengan cepat masuk ke dalam villa serasa meneriakan kata provokasi dan kata yang tidak pantas yang seharusnya tidak didengar oleh pelajar. Mereka menuntut penyelenggara kegiatan untuk menunjukkan izin.
Ketika kegiatan berlangsung, upaya pembubaran dilakukan dengan menggedor dan mendobrak paksa gerbang yang mengakibatkan kerusakan. Selanjutnya, warga masuk dan memecahkan serta merusak kaca, jendela, dan fasilitas di rumah tersebut. Bahkan salib yang ada di rumah itu ikut diturunkan. Intimidasi juga dilakukan dengan meneriaki dan mengusir peserta yang sebagian besar merupakan pelajar.
Bukankah beribadah adalah hubungan pribadi yang intim dengan Sang Pencipta? Lalu mengapa memerlukan izin dari pihak mayoritas? Hal ini menegaskan bahwa beribadah adalah hak semua orang. Kaum yang mayoritas tidak mempunyai hak untuk melarang mereka yang minoritas untuk beribadah. Kasus intoleransi ini tidak hanya sebagai bentuk kebencian, tetapi juga bentuk kriminalitas.
Dari Kota Toleransi menjadi Wajah Luka
Sukabumi, sebuah kota yang kini membawa penuh luka. Pada Januari 2024 silam, Kota Sukabumi mendapat penghargaan salah satu kota paling toleran di Indonesia. Menurut data dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Sukabumi menempati peringkat ke-6 secara nasional dan peringkat pertama se Jawa Barat dalam Indeks Kota Toleran (IKT). Tentu ini menjadi kebanggaan untuk Kota Sukabumi.
Namun hal itu tidak bertahan lama, kasus yang terjadi ini justru mempertanyakan status Kota Sukabumi sebagai kota toleran. Hal ini menunjukkan bahwa tolerasi belum sepenuhnya menjadi nilai yang sungguh mengakar dalam masyarakat.
Toleransi bukan soal citra, tapi soal keberanian hidup berdampingan secara nyata. Jika kegiatan retret saja tak bisa berjalan damai, mungkin yang perlu menjadi evaluasi bukan hanya pelakunya tetapi seluruh sistem yang mengklaim sudah adil dan toleran. Karena kejadian intoleransi semacam ini menjadi luka yang menyakitkan.
Bukan Hanya Kerugian Material, tetapi Juga Mental Anak
Kejadian ini tidak hanya membawa kerugian material oleh pemilik Villa singgah, tetapi juga anak-anak yang mengikuti kegiatan retret. Saya rasa kerugian material tidak seberapa meskipun juga pasti banyak, tetapi yang parah adalah kondisi psikologis yang anak-anak alami.
Mereka tidak tahu apa-apa, mereka hanya mengikuti kegiatan dengan tujuan menemukan kedamaian. Tetapi bukanlah kedamaian, tetapi justru rasa trauma yang mereka terima.
Ini menjadi luka batin yang cukup serius bagi anak-anak. Retret yang seharusnya menjadi ruang aman spiritual, tetapi berubah menjadi medan intimidasi. Ini akan membentuk trauma yang mendalam. Jika sudah dalam taraf trauma yang cukup serius, maka penanganannya pun tidak mudah.
Selain itu, peristiwa ini juga akan berpengaruh pada cara pandang anak-anak terhadap kepercayaan yang berbeda. Pada akhirnya mereka akan jatuh pada sikap radikalisme juga, sikap intoleransi. Ini akan membawa dampak yang kurang baik bagi perkembangan anak-anak. Ketika mereka mendapat intimidasi hanya karena keyakinannya, ada satu hal berbahaya, yaitu pandangan bahwa berbeda itu salah, dan membenci itu sah.
Masih Relevankah Nilai Sila Pertama
Peristiwa seperti ini tidak hanya satu atau dua kali saja. Mungkin peristiwa ini adalah peristiwa ke sekian puluh bahkan ratus. Intoleransi yang terjadi ini membawa sebuah pertanyaan besar, yaitu masih relevankah nilai pancasila, khususnya sila pertama?
Sila pertama sangat jelas tidak hanya berhubungan relasi antara manusia dengan Tuhan, tetapi juga dengan agama lain. Sila pertama adalah fondasi etis seluruh Pancasila yang menegaskan bahwa Indonesia bukan negara sekuler yang memisahkan agama dari ruang publik.
Dalam situasi demikan justru relevansi nilai sila pertama ini dipertanyakan. Semakin tua Indonesia dengan Pancasila sebagai pondasi, tetapi nilai-nilai kemanusiaan dan toleransi semakin menghilang. Sebaliknya sikap Intoleransi semakin menjadi-jadi.
Mereka menggunakan agama sebagai dasar untuk membenarkan sikap Intoleransi. Kalau ada larangan untuk ibadah, larangan untuk mengadakan kegiatan keagamaan justru semakin memperlihatkan bahwa pancasila tidak sungguh menjadi dasar.
Kasih yang Memaafkan
Atas peristiwa yang terjadi, banyak orang berbondong-bondong bersimpati kepada pemiliki villa rumah singgah retret yang telah rusak akibat amukan massa.
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi atau akrab dipanggil Kang Dedi, juga secara langsung mengunjungi dan memberikan ganti rugi kepada pemiliki villa tersebut. Ia memberikan ganti rugi sebesar 100 juta dan juga mengirim tim psikolog untuk mendampingi anak-anak yang menjadi korban.
Namun sang pemiliki villa yang bernama Ibu Ninna justru menolak menggunakan uang ganti rugi tersebut untuk memperbaiki villanya. Ibu Ninna memilih menyumbangkan uangnya untuk pembangunan masjid yang ada di sekitar villa. Ia mengatakan bahwa ia dengan tulus dan sukarela menyumbangkan uang ganti rugi tersebut kepada pihak masjid.
Apa yang Ibu Ninna lakukan ini menjadi tamparan keras bagi banyak orang. Meskipun ia harus menanggung kerusakan yang tidak sedikit, namun dengan ketulusan hati ia malah menyerahkan uang ganti rugi kepada masjid yang membutuhkan. Tindakan pemiliki villa tersebut juga mengingatkan kepada semua orang untuk selalu mengedepankan kasih persaudaraan di tengah perbedaan.
Aksi intoleransi yang terjadi ini menunjukkan bahwa nilai saling menghargai belum sepenuhnya ada dalam masyarakat. Untuk itu, perlu kesadaran dari masing-masing pribadi sebagai manusia yang tahu akan makna menghargai perbedaan. Jika kesadaran tersebut sudah sungguh tertanam dalam diri, maka saya yakin aksi intoleransi semacam ini tidak akan terjadi lagi. []