“Ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya” kalimat ini selalu menjadi mantra betapa pentingnya peran perempuan dalam mendidik anak. Namun jangan pula melupakan betapa bapak juga memiliki peran yang sama, maka kalimat tersebut bisa dilengkapi dengan “dan bapak adalah kepala sekolahnya”. Sebuah pesan bahwa mendidik bukan hanya urusan ibu, melainkan tanggungjawab bersama keduanya.
Jika menilik kembali hasil survey yang dilakukan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2015 menyatakan bahwa peran bapak dalam pendidikan anak masih rendah. Kualitas pengasuhan anak oleh bapak hanya berkisar 3,8 dari 5. Rendahnya kualitas pengasuhan ini dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan akan pentingnya sosok bapak dalam pendidikan.
Padahal menurut praktisi pendidikan Najeela Shihab, sosok bapak memiliki empat peranan penting dalam keluarga. Pertama. Bapak sebagai teman bermain akan berpengaruh pada kualitas mental anak. Kedua. Bapak sebagai pendidik harus mampu memberikan motivasi bagi anaknya untuk mewujudkan semua cita-citanya. Ketiga. Bapak sebagai pelindung akan mengajarkan anak bagaimana melindungi dirinya. Keempat. Bapak sebagai rekan yang akan mempengaruhi pola pikir, sikap, dan perilaku anak.
Dalam pendidikan Islam ditegaskan bahwa bapak juga berperan penting dalam pendidikan anak-anaknya, baik anak laki-laki dan perempuan. Lebih khusus lagi Syaikh Abdul Mun’im Ibrahim dalam kitabnya Tarbiyatul Banaat fil Islam, mengatakan bahwa salah satu cara orang tua memenuhi kebutuhan emosional anak perempuan adalah seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah terhadap putrinya, yakni memberikan keyakinan kepada mereka bahwa dirinya adalah bagian dari sang bapak.
Pemberian keyakinan ini sangat diperlukan anak perempuan agar timbul rasa aman dan perasaan terlindungi dari hal-hal yang tak diinginkan. Jika merujuk pada kehidupan Rasulullah di luar peranannya sebagai nabi dan pemimpin umat, beliau adalah sosok bapak yang sangat dekat dan berarti bagi anak perempuannya.
Dikisahkan dalam kitab Fi Bayt al-Rasul karya Nizar Abazhah. Berikut teladan nabi sebagai sosok bapak untuk anak perempuannya:
Sifat Penyayang Nabi Untuk Putrinya Ruqayyah dan Ummu Kultsum
Nabi amat sangat menyayangi Ruqayyah, beliau sangat mempertimbangkan kesehatan putrinya. Hal ini terlihat ketika kaum muslim meninggalkan Madinah untuk melayani kaum Quraisy di medan Badar, Ruqayyah terserang penyakit yang memaksanya terbaring di atas ranjang. Melihat keadaan putrinya yang semakin buruk, Nabi sangat sedih. Beliau menyuruh Ustman untuk tidak ikut berperang dan terus mendampingi istrinya hingga ia wafat.
Setelah wafatnya Ruqayyah, Ustman merasa bersedih. Tak tega melihatnya larut dalam kesedihan, akhirnya Rasul menikahkan ia dengan putrinya, Ummu Kultsum. Hal ini juga menjadi obat hati bagi Ummu Kultsum yang telah diceraikan oleh putra Abu Lahab setelah turun wahyu kepada Rasululullah untuk menyebarkan agama Islam. Kisah Rasul ini harus diteladani oleh para bapak agar menyayangi anak perempuannya dan memastikan mereka untuk menikah dan mendapatkan pasangan yang memperlakukannya dengan baik.
Sosok Nabi di Mata Fatimah Azzahra
Nabi di mata putrinya, Fatimah, adalah teladan dan panutannya. Ini sangat jelas sekali tercantum dalam hadist Aisyah yang menceritakan bahwa tidak ada seseorang yang lebih mirip dengan Rasulullah selain Fatimah.
Aisyah menceritakan “Aku tidak melihat seseorang yang lebih mirip dengan Rasulullah dalam hal cara bicara dari pada Fatimah. Dahulu, ketika menemui Rasulullah maka beliau langsung berdiri dan menyambutnya, menciumnya, dan mendudukannya di tempat duduk beliau. Bagitu juga ketika Rasulullah mendatangi Fatimah, dia langsung berdiri menyambut beliau dan memegang tangan beliau lalu dia mendudukannya di tempat duduknya. Ketika Rasulullah sedang sakit keras, Fatimah mendatangi beliau, lalu beliau menyambutnya dan menciumnya” (HR. Bukhori).
Selain memberi kasih sayang penuh kepada anak perempuannya, Rasulullah juga selalu mengingatkan mereka untuk tidak mengandalkan bapaknya. Beliau berkata pada Fatimah, “Sedikitpun tak ada yang bisa kubebaskan kau dari Allah.”
Nabi juga tidak menginginkan putra-putrinya hidup bersenang-senang sementara kaum muslim saat itu sengsara. Suatu hari ketika beliau masuk ke rumah Fatimah dan melihatnya mengenakan gelang emas, Nabi berkata padanya, “Wahai Fatimah, senangkah kau bila orang-orang mengatakan. ‘Lihat itu putri Nabi mengenakan gelang neraka?’” Beliau lantas keluar tanpa duduk, dan Fatimah segera melepas dan menjualnya untuk membeli budak untuk dimerdekakan.
Cara Nabi Memperhatikan Kebutuhan Emosional dan Sensitifitas Anak Perempuan
Dalam mendidik anak perempuannya, Rasulullah memperhatikan pemenuhan kebutuhan emosional dan sensitifnya anak perempuannya. Salah satunya adalah dengan tidak mengizinkan anak perempuannya dimadu oleh suaminya. Suatu hari terdengar berita bahwa Ali tengah melamar seorang perempuan di pelosok.
Beliau marah karena tak ingin satu pun dari putrinya dimadu dengan perempuan lain. Beliau lalu naik mimbar menyampaikan pidato, “Ada Bani Hasyim ibn al-Mughiroh minta izin padaku untuk mengawinkan Ali ibn Abi Thalib dengan putri mereka. Aku tidak mengizinkan, tidak mengizinkan, dan tidak akan pernah mengizinkan! Kecuali kalau Ali menceraikan putriku lalu menikah dengan putri mereka. Bagiku, Fatimah adalah belahanku. Apa yang tidak ia sukai, juga tidak kusukai. Apa yang menyakitkannya, juga menyakitkanku.” Oleh karena sikap tegas Nabi ini, tak pernah terlintas di benak Ali untuk berlaku buruk kepada Nabi dan putrinya.
Itulah teladan Nabi sebagai sosok bapak bagi anak-anaknya. Ini harus diperhatikan oleh semua bapak agar tidak melupakan perannya dalam mendidik. Dengan adanya Hari Ayah Nasional yang ditetapkan pada 12 November ini menjadi pengingat betapa penting kehadiran sosok bapak dalam pendidikan anak. []