Mubadalah.id – Judul artikel ini saya rancang menjadi pertanyaan agar menjadi bahan renungan sekaligus pergerakan untuk memperjuangkan hak difabel.
Menyongsong Hari Peringatan Hak Asasi Manusia Sedunia yang jatuh setiap 10 Desember, melihat kembali implementasi kebijakan publik terhadap pemenuhan hak difabel menjadi pembahasan yang tak bisa tertunda lagi.
Peringatan hari HAM yang tujuannya mengingatkan masyarakat tentang pentingnya penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia bagi setiap individu. Benarkah sudah amat penting untuk memanusiakan penyandang disabilitas? Ataukah mereka masih jadi kelompok yang terpinggirkan dalam narasi besar tentang hak asasi manusia di negeri ini?
Jujur, sebagai renungan, selama ini saya sering lihat sendiri gimana realita teman-teman difabel di sekitar kita. Dan kalau ada pertanyaan apakah kebijakan untuk difabel di Indonesia sudah sesuai dengan prinsip HAM? Jawaban saya tegas: belum, masih jauh.
Paradoks Legal: Gagah di Atas Kertas, Lembek di Lapangan
Jangan salah persepsi dahulu dengan sub-pembahasan ini. Di atas kertas Indonesia punya undang-undang yang bagus UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang katanya sejalan dengan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD).
Indonesia telah meratifikasi Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas yang disahkan melalui UU Nomor 19 Tahun 2011 dan pemerintah juga telah menerbitkan tujuh Peraturan Pemerintah (PP) sebagai amanat dari UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas
Tapi, ketika terjun ke lapangan, sangat distingtif. Ada jurang yang lebar antara apa yang tertulis di undang-undang dengan kenyataan yang dialami difabel setiap hari.
Seperti diungkapkan para ahli, sebagian besar aktivis disabilitas, akademisi serta penyandang disabilitas masih menyayangkan implementasi undang-undang tentang hak-hak difabel karena infrastruktur ruang publik, layanan institusi pemerintah dan sikap masyarakat masih sangat segregatif dan kurang aksesibel
Nah itu yang saya sebut paradoks, secara teoritis Indonesia mampu mentransformasikan isu disabilitas dan masyarakat inklusif ke dalam kebijakan dengan sangat baik, namun implementasinya masih sangat lemah. Inilah yang membuat peringatan Hari HAM tahun ini terasa ironis Indonesia punya komitmen legal yang kuat, tapi pelaksanaannya masih jauh panggang dari api.
Hak Pendidikan dan Kekerasan Pada Difabel ; Yang Paling Rentan Malah Paling Nggak Terlindungi
Soal Pendidikan, baik secara faktual maupun aktual instansi formal bagi penyandang disabilitas hingga saat ini sangat terbatas. Padahal angka difabel per-wilayah di Indonesia menuntut adanya instansi formal (pendidikan) yang memadai.
Pengalaman saya, berdasarkan cerita dari cerita teman-teman yang menjadi tenaga ajar, ketika penyandang disabilitas masuk di sekolah umum, ia diterima secara legatisik namun terdeskriminasi secara kultural.
Its okey, munculnya sekolah inklusif, DLB, dan rumah terapi yang khusus teman difabel merupakan solusi dari masalah tersebut. Namun, sampai kapan arah pendidikan terus terbingkai dalam paradigma diskriminatif ?
Perubahan cara pandang inilah yang sebenarnya paling penting. Soalnya, masalah pendidikan inklusif tidak hanya soal menyediakan ruang, sekolah, atau fasilitas khusus, tapi juga bagaimana kita melihat teman-teman difabel sebagai bagian alami dari keberagaman manusia.
Kalau pola pikirnya masih “yang normal di sini, yang difabel di sana”, ya inklusi hanya akan berhenti jadi slogan. Sekolah inklusif dan rumah terapi akhirnya cuma jadi tempelan tanpa menyentuh akar persoalannya.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah kerentanan difabel terhadap kekerasan. Difabel, terutama perempuan dan anak-anak difabel, sangat rentan jadi korban kekerasan—fisik, seksual, atau psikologis. Tapi ironisnya, mekanisme perlindungannya justru paling lemah. Ini yang paling bikin geram dan sangat kontras dengan semangat Hari HAM.
Saya pernah baca berita tentang anak difabel intelektual yang jadi korban kekerasan seksual. Pas mau lapor, prosesnya susah karena kesaksian mereka sering nggak dianggap valid sama aparat. Atau perempuan tunanetra yang mengalami pelecehan di angkutan umum tapi nggak bisa identifikasi pelakunya. Kasusnya ujung-ujungnya menguap begitu saja tanpa keadilan.
Dari Peringatan Menuju Praktik Nyata
Menjelang peringatan Hari HAM ini, saya harus jujur: jelas belum. Aksesibilitas universal? Belum. Non-diskriminasi? Belum. Partisipasi penuh? Belum. Perlindungan dari kekerasan? Belum. Kesetaraan kesempatan? Belum.
Prof. Dr. Nunung Nuryartono, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kesejahteraan Sosial Kemenko PMK, menegaskan bahwa diperlukan intervensi dari negara untuk memastikan penyandang disabilitas menjadi kelompok yang tidak ditinggalkan dalam pembangunan, sebagaimana prinsip no one left behind, tidak boleh ada penyandang disabilitas tertinggal dari berbagai program layanan.
Benarkah sudah sangat penting untuk memanusiakan penyandang disabilitas? Jawabannya: ya, sangat penting, dan sudah terlambat. Kita sudah terlalu lama membiarkan difabel hidup di pinggiran, dilihat sebagai objek belas kasihan ketimbang subjek yang memiliki hak penuh.
Peringatan Hari HAM seharusnya bukan cuma seremonial. Ini harus jadi momentum untuk aksi konkrit: transformasi mindset dari paradigma medis-karitatif ke paradigma HAM, penegakan hukum yang konsisten dan tegas, perbaikan sistem data secara komprehensif, peningkatan anggaran secara signifikan, pelibatan difabel dalam semua tahapan kebijakan, dan pelatihan massal untuk semua pihak.
Masyarakat yang inklusif untuk hak difabel itu sebenernya masyarakat yang lebih baik untuk semua orang. Menyongsong Hari HAM Sedunia, pertanyaan “benarkah implementasi kebijakan publik terhadap hak difabel sudah sesuai HAM?” harus membuat kita gelisah.
Harus memicu renungan mendalam tentang sejauh mana kita benar-benar menghormati martabat setiap manusia. Dan yang lebih penting, harus memicu pergerakan dari individu, komunitas, institusi, hingga negara untuk mewujudkan masyarakat yang benar-benar inklusif.
Terakhir, kita harus benar-benar percaya bahwa kebijakan publik dibuat untuk dijalankan, bukan untuk dipajang. Dan menjalankan kebijakan untuk difabel adalah menjalankan komitmen kita terhadap HAM mulai hari ini, mulai dengan aksi nyata. []












































