Judul Buku: Fiqh Indonesia: Kompilasi Hukum Islam.
Penulis: Marzuki Wahid
Penerbit: Nuansa Cendekia, Bandung
Tahun Terbit: 2014 (Cetakan I). ISBN: 979-24-5794-1
Mubadalah.id – Sejak 1 Juni 1991 Pengadilan Agama (PA) di Indonesia telah memiliki kompasnya tersendiri. Instruksi Presiden (Inpres) nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Meskipun ia bersifat fakultatif—telah memberikan pengaruh yang besar atas keselaraasan putusan pengadilan di wilayah Pengadilan Agama.
Perjalanan lahirnya KHI ini, memang terinsiasi oleh motif-motif yang cenderung yuridis daripada politis-ideologis, apalagi motif murni keagamaan. Artinya, pembentukan KHI di samping terdorong untuk menjadi landasan hukum yang kuat, ia juga didorong untuk melahirkan keputusan hukum yang seragam dalam wilayah Peradilan Agama. Karena pada masa sebelumnya, hukum Islam hanya berdasarkan pada kitab-kitab fikih dengan beragam penafsirannya. Di mana ini telah menyulitkan hakim di wilayah Pengadilan Agama untuk memutuskan sebuah perkara yang dinilai adil.
Sehingga, secara fungsional, KHI telah mewujudkan kesatuan dan kepastian hukum bagi umat Islam di Indonesia. Terutama dalam persoalan waris, perkawinan, dan perwakafan. Namun, jika kita telisik lebih jauh dari sisi sejarahnya, kita akan diantarkan pada pertanyaan mendasar pada relevansi KHI pada saat ini.
Meninjau Proses Pembentukan KHI
Secara teori sejarah pembentukan hukum (legal history), proses pembentukan hukum tidak pernah terlepas dari dua karakternya. Yakni karakter yang ortodoks dan responsif. Sebuah hukum dapat kita katakan ortodoks, ketika ia terbentuk dengan dominasi kuat institusi negara dan mengabaikan partisipasi publik. Begitu juga sebaliknya. Jika pembentukan hukum melibatkan peran besar lembaga peradilan dan kelompok sosial lainnya, maka ia tergolong hukum yang responsif (hlm, 156).
Jika kita menengok sejarah dalam pembentukan KHI, ia merupakan produk hukum yang lahir dari dinamika politik hukum Indonesia pada masa Orde Baru. Fakta yang terjadi dalam pembentukan KHI, telah didominasi oleh institusi negara yang berupa MA sebagai lembaga yudikatif negara dan Depag RI sebagai lembaga ekskekutifnya.
Dominasi tersebut, telak berakibat pada terpinggirkannya kelompok-kelompok sosial umat Islam. Contoh konkritnya, dari sebanyak 16 personil dalam proses pembentukan KHI, hanya ada 1 personil yang terlibat sebagai perwakilan dari MUI (suatu lembaga yang merepresentasikan Islam di Indonesia). Yaitu Kiai Ibrohim Hosein.
Apakah KHI Masih Relevan?
Realitas pembentukan yang sedemikian adanya, jika kita kaitkan dengan teori strategi pembentukan hukum (legal History). Maka akan terlihat bahwa karakter pembentukan hukum dalam KHI cenderung ke arah yang ortodoks, meskipun tidak sepenuhnya. Karena, meskipun pembentukan hukumnya didominasi oleh institusi negara, ia masih melibatkan peran masyarakat. Meskipun dengan ruang yang relatif kecil (marginal).
Maka, pendapat Marzuki Wahid dalam bukunya, Fiqh Indonesia: Kompilasi Hukum Islam dan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia (2014), memberikan karakter semi-responsif pada karakter hukum KHI. Ini adalah istilah yang paling santun untuk sebuah proses yang secara—tradisi pengambilan keputusan hukum Islam—relatif terbilang cacat.
Dari karakter yang kurang rersponsif inilah, mempertanyakan KHI pada saat ini adalah menjadi keharusan cendekiawan Islam hari ini. Karena bagaimanapun, mengutip dari Husein Muhammad, dalam pengantarnya di dalam Fiqh Perempuan (2021), aspek menghadirkan mashlahat dan menghilangkan mafsadat adalah tolak ukur intelektual muslim terdahulu dalam mengambil sebuah keputusan hukum.
Dengan demikian, pertanyaan mendasarnya: apakah pasal-pasal yang terpatri di dalam KHI masih rerlevan pada saat ini, di sini? Terlebih lagi, dalam pasal waris KHI yang masih merujuk pada formula 2:1. Sebagaimana rumusan-rumusan yang terdapat di dalam kitab-kitab fikih klasik.
Meninjau Kembali Pasal Waris KHI
Persoalan Pasal KHI yang hari ini patut kita pertanyakan kembali. Salah satunya ialah ketentuan waris yang masih cenderung merujuk pada keputusan kitab fikih klasik. Di mana pembagiannya masih menggunakan formula 2:1. Yakni porsi waris laki-laki terbilang lebih besar daripada perempuan, karena faktor fungsionalnya: tanggung jawab laki-laki lebih besar daripada perempuan pada masa fikih klasik dilahirkan.
Kiranya, alasan fungsional itulah yang terbilang mashlahat dalam porsi pembagian waris di antara laki-laki dan perempuan pada masa awal-awal Islam. Jika kita sepakat, hal demikian yang mendasari logika hukumnya, maka perubahan sosial hari ini, di mana jutaan perempuan di Indonesia terlibat dalam tanggung jawab ekonomi keluarga. Bahkan tidak jarang yang menjadi tulang punggung keluarga, telah melahirkan pertanyaan baru. Masihkah ketentuan pasal waris KHI tersebut mashlahat atas perubahan sosial yang terjadi?
Sayangnya, ketentuan pasal KHI terkait persoalan waris yang sudah ada, merupakan ketentuan hukum yang lahir dari pergulatan politik di masa Orde Baru. Tujuannya lebih cenderung mengarah pada kepastian dan ketertiban hukum semata. Yakni untuk meminimalisasi konflik sosial di dalam tubuh masyarakat—yang dengan minimnya konflik, harapan besarnya adalah produksi pembangunan akan semakin maksimal (hlm, 178).
Keadilan Substantif
Dengan begitu, ketentuan pasal waris dalam KHI masih kurang mencerminkan keadilan substantif dari segi pembentukannya sekaligus penerapannya di atas realitas yang sudah berubah. Sehingga, bukan suatu hal yang tidak mungkin bagi intelektual muslim masa kini. Yakni untuk mengkaji ulang pasal waris dalam KHI dengan kacamata yang lebih jernih terhadap realitas yang nyata,. Selain itu harus benar-benar menghadirkan pasal waris dalam KHI yang lebih responsif dalam menjawab persoalan pelik umat muslim.
KHI hari ini, memang telah berhasil menciptakan kepastian dan keselarasan hukum di wilayah Pengadilan Agama, tetapi kini pengujian materiil KHI dalam dimensi keadilannya, perlu kita kaji kembali dengan menatap realitas nyata hari ini.
Kebutuhan untuk melahirkan Kompilasi Hukum Islam Baru (KHI Baru) ini, telah menjadi keniscayaan atas perubahan sosial-ekonomi yang ada. Dengan kata lain, KHI Baru harus kita ciptakan melalui proses yang responsif dan partisipatif. Yakni untuk memastikan bahwa mashlahat umum dan keadilan substantif menjadi tujuan utamanya. Hanya dengan ini, hukum Islam di Indonesia dapat menjadi adil dan relevan pada masa kini, dan di sini: di Indonesia. []












































