Mubadalah.id – Pengaturan tentang nusyuz dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) terdapat dalam pasal 84 ayat (1). Namun demikian, dalam persoalan nusyuz ini, KHI masih terlihat bias gender.
Sebab, masalah nusyuz dalam KHI hanya berlaku bagi pihak perempuan. Sementara laki-laki (baca: suami) yang mangkir dari tanggungjawabnya tidak diatur dan tidak dianggap nusyuz.
Oleh sebab itu, pasal ini terlihat mengekang kebebasan hak-hak perempuan dan tidak mendudukkan hubungan suami istri secara setara.
Kemudian juga soal pemberian mahar dari seorang suami terhadap istri. Pertanyaannya, bukankah dengan mahar ini, laki-laki (suami) semakin digdaya di hadapan perempuan (istri).
Terdapat anggapan yang menggumpal di alam bawah sadar seorang suami bahwa ia telah “membeli” (alat kelamin, vagina) istri. Sehingga dapat dengan leluasa memperlakukannya.
Transaksi “pembelian” melalui selubung mahar ini akan terungkap dengan jelas ketika membaca pasal 35 ayat 1 yang berbunyi, “suami yang mentalak istrinya qabla al-dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah.”
Dalam fikih, walau masih menjadi perdebatan, ada pendapat yang menyatakan bahwa hak suami terhadap istri adalah haqq al-tamlik dan bukan haqq al-intifa.
Lalu, persoalan poligami. Dalam KHI poligami masih dimungkinkan untuk dilakukan. Pandangan seperti ini dapat disangkal dengan dua alasan berikut:
Pertama, asas perkawinan dalam Islam adalah monogami dan bukan poligami. Oleh karena itu, perkawinan poligami jelas bertentangan dengan asas tersebut.
Kedua, perkawinan poligami dalam praktiknya sangat menyakitkan bagi istri. Beberapa penelitian menemukan sebuah fakta bahwa sebagian besar perkawinan poligami secara sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan dan seizin istri.
Dengan fakta ini, maka tindak kebohongan yang begitu menyakitkan telah terjadi. Kejujuran dan keterbukaan yang semestinya menjadi landasan utama dalam rumah tangga kemudian menjadi rapuh. []