• Login
  • Register
Kamis, 19 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Forgiveness Therapy (Terapi Pemaafan) dalam Momentum Idulfitri 1445 H

Mari kita jadikan momentum Idhulfitri ini menjadi ajang “memaafkan diri sendiri, memaafkan individu lain dan memaafkan kejadian lampau”

rahmaditta_kw rahmaditta_kw
10/04/2024
in Personal
0
Forgiveness Therapy

Forgiveness Therapy

771
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Idulfitri 1445 H/ 2024 M  menjadi mementum penantian umat muslim. Setelah melewati bulan suci Ramadan, umat muslim merayakannya dengan saling mempererat silaturahmi dan saling maaf-memaafkan.

Tergambar dalam moment lebaran, sanak saudara berkumpul dengan penuh suka cita. Mereka mempersiapkan special moment Forgiveness Therapy ini dengan penuh persiapan.

Ilustrasi “Sungkeman” di Hari Raya

Tradisi “sungkeman’ Indonesia, merupakan akluturasi budaya Jawa menjadi momentum yang sakral dalam memaknai Hari Raya Idulfitri. Sungkeman adalah sebuah tradisi masyarakat jawa sebagai bentuk penghormatan dan permohonan maaf yang diberikan kepada sosok yang lebih tua atau yang dihormati, seperti orangtua, kakek/ nenek maupun sesepuh.

“Minal’aidzin wal fa’izin, sugeng riyadi, sedoyo kalepatan kula, kula nyuwun agunging pangapunten (selamat hari raya, jika saya ada salah, saya mohon maaf yang sebesar – besarnya). Ibu saya mohon maaf jika belum bisa menjadi anak yang ibu inginkan.” (Ucap seorang anak yang sedang melakukan sungkeman pada Ibunya).

“Iyaa nduk.. sama-sama, Ibu memaafkanmu dan senantiasa mendoakanmu setiap Langkah hidupmu”. (jawab ibu kepada sang anak).

Ilustrasi percakapan tersebut menggambarkan moment permohonan maaf pada yang lebih dihormati.

Baca Juga:

Tana Barambon Ambip: Tradisi yang Mengancam Nyawa Ibu dan Bayi di Pedalaman Merauke

Menilik Masjid Ramah Musafir: Buka 24 Jam!

Tradisi Syawalan di Pekalongan, Meningkatkan Ukhuwah dan Perekonomian Masyarakat

Hari Kemenangan dan 11 Bulan Kemudian

Namun satu pertanyaan terlintas dalam benak saya, apakah benar ketika lisan terucap maaf, maka secara kongruen hati ini memaafkann atas segala kesalahan, kekecewaan dan kemarahan?.

Tentang Forgiveness Therapy

Manusia dengan segala kompleksitasnya hidup dengan ragam permasalahan. Tak lain permaslahan itu hadir dari lungkungan eksternal yaitu hubungan intrapersonal. Permasalahan relasi dengan orang lain, yang tak tertuntaskan dalam situasi tertentu melahirkan tekanan stress, kecemasan bahkan traumatis?

Padalah menurut hasil riset, menyimpan rasa marah dan dendam dapat membawa permasalahan Kesehatan baik secara psikis maupun fisik.

Secara definisi menurut Everett Worthington Jr, seorang professor psikolog, memaafkan adalah  menyatakan bahwa memaafkan adalah kondisi emosional mengurangi atau membatasi kebencian serta dendam.

Sedangkan memaafkan dalam cakupan psikoterapi,  atau yang bisa disebut dengan Forgiviness therapy adalah usaha untuk  memodifikasi perilaku seseorang dalam merespon pelaku, kejadiann dan pengalaman menyakitkan seseorang, kearah yang lebih positif, sehingga terlepas sudah rasa sakit itu, kemarahan, kekecewaan, kesedihan.

Kondisi emosional tersebut melahirkan perasaan dan pemikiran positif, serta wujud dari resiliensi traumatis.

Siapa yang perlu dimaafkan?

Selanjutnya terbesit pertanyaan sederhana perihal memaafkan. “Siapa yang perlu kita maafkan?.

Tentu dalam hal ini tidak bersifat satu arah, melainkan terdapat beberapa sasaran yang menjadi kunci dari forgiveness therapy, antara lain:

Pertama, Memaafkan diri sendiri. Memaafkan diri sendiri adalah permohonan maaf untuk  pada diri sendiri atas segala kesalahan dan juga menjadi bahan intropeksi diri. Memulai dalam diri menghempaskan rasa insecure, perasaan salah, pemikiran negatif,  kekecewaan dan kemaarahan diri sendiri,  guna memperbaiki diri sendiri kearah yang lebih baik. Dapat diartikan bahwa kemampuan memaafkan diri sendiri adalah kemampuan emosi secara intrapersonal.

Kedua, memaafkan individu lain: Memaafkan oranglain adalah kemampuan memaafkan kepada sosok individu lain yang pernah menyakiti diri kita. Terlintas sebuah pertanyaan yang menggelitik bagi saya, siapakah sosok yang membuat kita merasa paling sedih, sepi dan kecewa?.

Ternyata keluarga memiliki potensi untuk menorehkan segala luka batin.

Kenapa keluarga? karena keluarga memiliki ekspektasi dan harapan tersendiri, jika tidak dapat terlampaui lumrah rasanya kita memiliki kekecewaan yang bercokol dalam diri. Tentu rasanya lebih menyakitkan dibanding kekecewaan pada orang lain.

Maka jika merujuk pertanyaan, siapa orang yang perlu kita maafkan paling utama, maka jawabannya adalah keluarga.

Selanjutnya dapat kita dapat memaafkan relasi sosial lain, seperti: teman, relasi kerja, dan lingkungan sekitar.

Ketiga, Memaafkan situasi, fokus kendali diri internal. Satu metodologi yang mencerminkan bahwa titik fokus hidup terpenting respon adalah kendali diri. Kita mungkin pernah mendengar istilah stoicism, yaitu satu aliran filsafat di era Yunani Kuno, yang saat ini pun masih sangat relevan menghadapi kegilaan era ini.

Stoicisme membagi dikotomi kendali menjadi 2, pertama, kontrol diri internal, kedua kontrol eksternal.

Segala kontrol eksternal mencakup pendapat, respon orang lain dan cara pandang oranglain tentang diri kita. Maka tentu respon oranglain membuat tergelitik sakit ketika adalah luar kendali diri kita.

Adapun demikian jika kita telah mempraktikkan gaya hidup stoikisme, kita akan dengan mudah memaafkan respon oranglain, yang berasal dari kontrol diri eksternal. Karna fokus seorang stoikisme berada pada kendali internal (habbit, perilaku diri, etos kerja prinsip hidup).

Tahap Forgiveness Therapy

Mengutip dari  artikel ilmiah Alfira Fitria dkk (2024), tahap Forgiveness therapy mencakup 4 fase;

Pertama adalah uncovering: yaitu kondisi individu telah memahami emosi, pemikiran dan perilaku negatif sebagai respon atas rasa sakit hatinya.

Kedua, decision, yaitu kondisi pemahaman individu atas pengalaman masa lalu yang begitu menyakitkan. Namun individu tersebut dapat melakukan kontrol diri serta strategi coping yang efektif. Sehingga dalam fase tersebut, “individu memiliki daya pikir untuk memaafkan”.

Ketiga, Work, yaitu aksi nyata perwujudan tanda maaf . Hal ini dapat dtandai dengan perilaku yang psositif dan responsive pada rasa sakit pengalaman masa lalu.

Keempat, deepening, yaitu fase seorang individu berhasil menemukan makna atas segala kisah pilu dan proses memaafkan. Maka kondisi tersebut dapat diartikan bahwa individu sudah sampai pada titik resiliensi dan Ikhlas.

Aspek-Aspek Motif Forgiveness Therapy

Jika kita berbicara respon seseorang dalam upaya pemaafan interpersonal, maka menurut pakar psikologi terdapat 3 aspek motif seseorang dalam pemaafan:

Pertama, Avoidance motivations: Merupakan bentuk pemaafan yang individu dengan upaya penghindaran, agar tidak memiliki keterlibatan langsung dengan seseorang yang pernah menyakitinya.

Kedua, Revenge motivations: Aspek merupakan dorongan atau motivasi individu yang timbul untuk melakukan pembalasan perbuatan buruk pada seseorang yang telah menyakitinya.

Ketiga, Benevolence motivations: Motivasi ini merupakan adanya dorongan individu untuk berperilaku baik kepada orang yang pernah menyakitinya.

Dari ketiga motif dan respon pemaafan, tentu aspek ketiga yaitu Benevolence Motivations adalah bentuk kongkrit seseorang yang telah mencapai pada titik pemaafan pada individulain.

Memaafkan bukan berarti mengizinkan rasa sakit yang pernah terjadi itu tumbuh, memaafkan bukan berarti melupakan rasa sakit yang perah tertanam dalam hari. Memaafkan berarti menyadari bahwa manusia bukanlah makhluk sempurna yang tak luput dari kesalahan.

Melalui kesadaran ini tentu hidup akan menjadi lebih tenang dan upaya hablum-minannas semakin dekat wujudnya.

Bahkan menurut hasil penelitian, forgiveness therapy, dapat menurunkan tekanan stress, kecemasan dan menyembuhkan trauma masalalu. Bagi seseorang yang sudah mencapai puncak pemaafan, maka tentu individu tersebut telah mencapai self worth, self esteem dan self confidence. 

Maka dari sekelumit artikel ini, dapat kita tarik benang merahnya, bahwa “Jadikanlah momentum Idul Fitri ini menjadi ajang “memaafkan diri sendiri, memaafkan individu lain dan memaafkan kejadian lampau”. Hal ini tentu dapat meningkatkan kedamaian dan kebermaknaan psychological well-being. []

 

Tags: Forgiveness TherapyKeseharan MentallebaranSelf HealingSungkemanTradisi
rahmaditta_kw

rahmaditta_kw

Alumni Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga tahun 2023, Prodi Interdisciplinary Islamic Studies, Konsentrasi Bimbingan dan Konseling Islam. Sekarang ini aktif sebagai pengajar dan pembelajar bersama anak millenial.

Terkait Posts

Kesalehan Perempuan

Kesalehan Perempuan di Mata Filsuf Pythagoras

16 Juni 2025
Pesantren Disabilitas

Sebuah Refleksi atas Kekerasan Seksual di Pesantren Disabilitas

16 Juni 2025
Catcalling

Mari Berani Bersuara Melawan Catcalling di Ruang Publik

15 Juni 2025
Jadi Perempuan

Katanya, Jadi Perempuan Tidak Perlu Repot?

14 Juni 2025
Perempuan Berolahraga

Membaca Fenomena Perempuan Berolahraga

13 Juni 2025
Humor

Humor yang Tak Lagi Layak Ditertawakan: Refleksi atas Martabat dan Ruang

13 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Sister in Islam

    Doa, Dukungan dan Solidaritas untuk Sister in Islam (SIS) Malaysia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Berproses Bersama SIS Malaysia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nelayan Perempuan Madleen, Greta Thunberg, dan Misi Kemanusiaan Palestina

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dr. Nur Rofiah Tegaskan Pentingnya Mengubah Cara Pandang untuk Hentikan Kekerasan Seksual pada Anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dari Indonesia-sentris, Tone Positif, hingga Bisentris Histori dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Dr. Nur Rofiah Tegaskan Pentingnya Mengubah Cara Pandang untuk Hentikan Kekerasan Seksual pada Anak
  • Nelayan Perempuan Madleen, Greta Thunberg, dan Misi Kemanusiaan Palestina
  • Berproses Bersama SIS Malaysia
  • Doa, Dukungan dan Solidaritas untuk Sister in Islam (SIS) Malaysia
  • Saatnya Mengakhiri Tafsir Kekerasan dalam Rumah Tangga

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID