• Login
  • Register
Selasa, 1 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Layangan Putus, Bukan Karena Cinta Sudah Pupus

Zahra Amin Zahra Amin
11/11/2022
in Keluarga
0
Layangan Putus, Bukan Karena Cinta Sudah Pupus

Layangan Putus, Bukan Karena Cinta Sudah Pupus

62
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.Id– erempuan penyintas poligami seperti layangan putus, yang merasa terombang-ambing, putus harapan dan tiada lagi tujuan.

“Layangan putus, adalah cerminan bahwa setinggi apapun ilmu agama, kalau tidak diamalkan maka sia-sia. Layangan putus adalah cerminan bahwa ujian manusia adalah harta, tahta dan wanita. Layangan putus, adalah cerminan dari tegarnya seorang ibu beranak empat yang ditelantarkan demi koleksi baru.”

Kalimat di atas saya baca dengan sengaja, dari flyer yang tersebar di lini masa media sosial, karena penasaran dengan kisah layangan putus, yang belakangan ini viral. Tetapi jika melihat persoalan itu, layangan putus bukan hanya karena cinta yang sudah pupus. Tetapi hasrat seksual yang ingin terpuaskan, hingga memilih poligami dan mengabaikan kehadiran cinta pertama.

Lalu saya pun membaca tulisan lebih tepatnya “curhatan” seorang Ibu yang sudah mempunyai empat orang anak, namun suaminya menikah lagi tanpa ijin dari istri pertama, ibu dari anak-anak tersebut. Ada hak istri yang telah dilanggar, ada hati istri yang telah disakiti, dan hak anak-anak yang tak terpenuhi, yakni kehadiran figur Ayah dalam pola pengasuhan.

Untuk mengulas kisah layangan putus ini, saya menuliskan kembali catatan dari buku “Qiraah Mubadalah”, karya Dr. Faqihuddin Abdul Qodir, tentang narasi poligami. Pertama, jika kesabaran adalah perilaku yang baik dan mulia, serta para pelakunya akan dicintai Allah SWT, maka tidak saja perempuan yang dituntut bersabar dari suami yang ingin atau sudah poligami.

Baca Juga:

Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi

Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian

Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

Dari point ini seharusnya suami atau laki-laki juga dituntut bersabar dan tidak memilih poligami agar menjadi orang yang mulia dan dicintai Allah SWT. Begitu pun jika kesetiaan adalah sesuatu yang baik dalam Islam, maka tidak hanya perempuan yang dituntut setia dan melayani suami, tetapi juga laki-laki dituntut hal yang sama untuk setia serta melayani istrinya.

Kesabaran dan kesetiaan adalah nilai yang universal. Ia baik dan berpahala dilakukan oleh siapapun. Laki-laki dan perempuan, keduanya dituntut hal yang sama terkait kesabaran dan kesetiaan pada pasangannya.

Kedua, bahwa perempuan memiliki hak sepenuhnya untuk menolak poligami dengan basis menjauhkan diri dari kerusakan dan mudharat (dar’u al mafasid), yang akan menimpa dirinya maupun keluarganya. Baik yang bersifat fisik, psikis, ekonomi maupun sosial.

Ketiga, bahwa perempuan mempunyai pilihan hak cerai jika suaminya memaksa poligami. Tidak seperti narasi selama ini, di mana perempuan diharuskan bersabar dan menganggap cerai dari poligami sebagai sesuatu yang tidak baik dan tidak dianjurkan.

Bahkan bercerai karena poligami dianggap melanggar tuntunan sebagai istri shalihah yang dijanjikan surga kelak di akhirat. Semua narasi ini (melarang cerai akibat poligami) sama sekali tidak disebutkan dalam al-Qur’an.

Lima belas abad yang lalu, justru al-Qur’an menganggap poligami sebagai problem rumah tangga, yang merupakan bagian dari nusyuz suami kepada istri, maka ini bisa disikapi istri dengan perceraian.

Sehingga langkah yang ditempuh perempuan korban layangan putus itu sudah tepat. Memilih berpisah dengan suaminya, meski kini harus menanggung dan merawat sendiri ketiga anak-anaknya. Tetapi upaya dia untuk melakukan perlawanan dengan menuliskan pengalamannya itu, tentu akan akan menjadi inspirasi bagi perempuan penyintas poligami lainnya.[]

Zahra Amin

Zahra Amin

Zahra Amin Perempuan penyuka senja, penikmat kopi, pembaca buku, dan menggemari sastra, isu perempuan serta keluarga. Kini, bekerja di Media Mubadalah dan tinggal di Indramayu.

Terkait Posts

Geng Motor

Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

29 Juni 2025
Keluarga Maslahah

Kiat-kiat Mewujudkan Keluarga Maslahah Menurut DR. Jamal Ma’mur Asmani

28 Juni 2025
Sakinah

Apa itu Keluarga Sakinah, Mawaddah dan Rahmah?

26 Juni 2025
Cinta Alam

Mengapa Cinta Alam Harus Ditanamkan Kepada Anak Sejak Usia Dini?

21 Juni 2025
Perbedaan anak laki-laki dan perempuan

Jangan Membedakan Perlakuan antara Anak Laki-laki dan Perempuan

17 Juni 2025
Ibu Rumah Tangga

Multitasking itu Keren? Mitos Melelahkan yang Membebani Ibu Rumah Tangga

17 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Toxic Positivity

    Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!
  • Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID