• Login
  • Register
Senin, 27 Maret 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Pernak-pernik

Makna Tradisi Lebaran Topat dan Praonan

Karakter masyarakat Muslim Indonesia sebagai bangsa majemuk dan kaya akan nilai-nilai kultural melihat Islam sebagai pedoman hidup sejati, tanpa meminggirkan jati diri

Hasna Azmi Fadhilah Hasna Azmi Fadhilah
24/07/2022
in Pernak-pernik
0
Makna Tradisi Lebaran

Makna Tradisi Lebaran

175
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Indonesia yang kaya akan berbagai budaya nampaknya tak akan kehabisan cerita mengenai tradisi lokal yang hingga kini tak lekang oleh zaman, salah satunya adalah syawalan atau tradisi di bulan Syawal. Artikel ini  akan membahas terkait makna Tradisi Lebaran Topat dan Praonan.

Ada banyak makna tradisi lebaran tersebut, seperti memperingati lebarannya orang yang berpuasa Sunnah enam hari di bulan itu. Penyambutan Syawal sendiri amatlah beragam, ada daerah yang merayakannya dengan memasak ketupat, ada juga yang menggelar doa bersama dan ziarah kubur. Lebih lengkapnya, berikut diuraikan dua contoh budaya menarik dari Lombok dan Pasuruan.

Lebaran Topat di Lombok

Tak hanya masyarakat Jawa yang punya gelaran acara setelah puasa Sunnah Syawal, warga Lombok pun tak ketinggalan memiliki perayaan ‘lebaran kedua’ ini. Namanya pun hampir mirip. Di Lombok, biasa disebut “lebaran topat”. Lebaran Topat merupakan tradisi masyarakat Sasak, yang merupakan suku asli Lombok. Meski beda nama, namun mempunyai makna tradisi lebaran yang sama.

Budaya tersebut biasanya banyak dilaksanakan di Lombok Barat, Mataram dan Lombok Utara. Ada beberapa tempat yang dijadikan pusat perayaan Lebaran Topat, antara lain di kompleks pemakaman dan pantai Loang Balloq, Kota Mataram, dan Pantai Batu Layar, serta Lombok Barat.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • 5 Dasar Toleransi Menurut Wahbah Az-Zuhaili
  • Toleransi dan Dialog antar Agama
  • Ramadan dan Nyepi; Lagi-lagi Belajar Toleransi
  • Nilai Inklusif dalam Perayaan Nyepi 2023

Baca Juga:

5 Dasar Toleransi Menurut Wahbah Az-Zuhaili

Toleransi dan Dialog antar Agama

Ramadan dan Nyepi; Lagi-lagi Belajar Toleransi

Nilai Inklusif dalam Perayaan Nyepi 2023

Lebaran Topat sendiri merupakan perayaan syukur kepada Allah karena telah selesai melaksanakan puasa sunnah Syawal selama enam hari terus-menerus dari tanggal 2 hingga 7 Dzulhijjah. Karena sudah menjadi kebiasaan bertahun-tahun, ritual ini seakan-akan berhukum wajib untuk dilakukan bagi warga di sana.

Tak hanya berbagi makanan dan sajian istimewa lokal, ajang lebaran topat juga merupakan tempat bertemu kolega dan saudara bila pada hari H Idul Fitri, mereka tak sempat bersua dan berjabat tangan. Tak heran momen lebaran topat selalu disambut antusias, dan mempunyai makna tradisi lebaran tersendiri.

Pada Lebaran topat di Lombok Barat, warga lokal juga akan mengunjungi tempat-tempat yang dianggap mempunyai nilai-nilai sakral, terutama makam. Mereka mendoakan dan menghormati leluhur yang berdakwah membawa Islam di Pulau Lombok. Bahkan terkadang perayaan lebaran topat digandeng dengan prosesi ngurisang (potong rambut bayi), atau syukuran sunatan untuk anak-anak mereka. sehingga lebaran topat bisa dikatakan sebagai momen perayaan besar-besaran bagi umat Islam di Lombok.

Kini dengan peningkatan ekonomi warga, prosesi budaya tersebut sudah bergeser dan tidak hanya sekadar prosesi ritual kebudayaan, namun menjadi kegiatan pelesiran keluarga pasca puasa pada Ramadan dan puasa Syawal. Dari pihak pemerintah setempat pun turut mendukungnya dengan menjadikan momen lebaran topat sebagai bagian dari kalender pariwisata (Nursyamsi, 2019).

Praonan di Pasuruan

Di Pasuruan, berakhirnya puasa Sunnah setelah bulan Ramadan juga dirayakan secara meriah. Di sana para warga menggelar tradisi Praonan, yang berarti berkeliling dengan menaiki perahu, untuk merayakan hari raya Ketupat. Terdapat tujuh titik kumpul penyelenggaraan tradisi Praonan di Kabupaten Pasuruan. Ketujuh titik kumpul tersebut berada di tiga Kecamatan, yakni Kecamatan Kraton, Kecamatan Lekok, dan Kecamatan Nguling. Pada setiap titiknya para nelayan menyiapkan perahu guna disewakan ke warga yang ingin ikut serta dalam tradisi Praonan.

Menurut perangkat desa Kalirejo, tradisi praonan ini sendiri bermula saat warga sekitar melakukan silaturahmi layaknya hari raya Idul Fitri seperti biasanya. Namun, sejumlah sanak saudara ternyata ingin menaiki perahu, dan kemudian diajaklah mereka untuk melihat suasana laut Pasuruan.

Lambat laun, keluarga lain yang melihat kemudian mencontoh. Akhirnya, tambah ramai lah wilayah Pesisir Pasuruan. Akhirnya, setiap tahun ada tradisi praonan ini, dan bahkan beberapa kali pemerintah daerah setempat turut berkontribusi memeriahkan perayaan dengan menggelar berbagai lomba, di antaranya: kompetisi ski lumpur dan hias perahu. Sehingga makna tradisi lebaran menjadi lebih berarti.

Yang menarik, tradisi lokal praonan sekarang tak hanya dihadiri oleh warga lokal. Karena peran media sosial, masyarakat di luar Pasuruan pun turut berduyun-duyun datang ke sana untuk menikmati meriahnya perayaan Syawalan. Keriuhan ini tak hanya membuat lebaran ketupat semakin ramai, tapi juga mampu meningkatkan pendapatan nelayan yang menyewakan perahunya. Dengan semakin longgarnya pengetatan wilayah karena pandemi, praonan tahun ini seperti membuka kran rezeki lebih bagi mereka (Atma, 2022).

Melihat kedua tradisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pola hubungan antara Islam sebagai agama universal dan tradisi lokal terjalin dengan baik. Budaya setempat justru berkelindan dan saling mempengaruhi bagaimana syiar Islam ditebarkan. Justru ketika Islam datang, tradisi lokal tidak pernah sepenuhnya dilenyapkan.

Ada bagian-bagian dari tradisi lokal (ikon atau konsep) yang terus bertahan dipelihara dan tidak tergantikan oleh ajaran universal (Abidin, 2009). Dengan cara ini dapat dikemukakan bahwa ajaran universal diapropriasi untuk mengisi ruang konsepsi yang pada tradisi lokal masih bersifat terbatas, sedangkan cara-cara hidup di ruang lokal tetap menggunakan tradisi lama.

Dari sana, semakin terlihat bahwa karakter masyarakat Muslim Indonesia sebagai bangsa majemuk dan kaya akan nilai-nilai kultural melihat Islam sebagai pedoman hidup sejati, tanpa meminggirkan jati diri. Sehingga sikap keterbukaan semacam ini lah yang perlu terus dipelihara, bukan kemudian bersikap eksklusif dengan memandang bahwa semua hal yang bernuansa lokal secara gamblang dilabeli sirik tanpa menggali lebih dalam esensi dasarnya. []

 

 

 

Tags: adatBudayaBulan Syawalidulfitri 2022kearifan lokalkeberagamanNusantaratoleransiTradisi Lebaran
Hasna Azmi Fadhilah

Hasna Azmi Fadhilah

Belajar dan mengajar tentang politik dan isu-isu perempuan

Terkait Posts

Prinsip Hidup Bersama

Piagam Madinah: Prinsip Hidup Bersama

27 Maret 2023
kehidupan bersama

Pentingnya Memahami Prinsip Kehidupan Bersama

27 Maret 2023
Kesehatan Gigi dan Mulut

Ramadan Tiba, Kesehatan Gigi dan Mulut Harus Tetap Terjaga

26 Maret 2023
Konstitusi

Kebebasan Dalam Konstitusi NKRI

25 Maret 2023
Nabi Muhammad Saw

Nabi Muhammad Saw Berpesan Jika Berdakwah Sampaikan Dengan Tutur Kata Lembut

25 Maret 2023
agama

Jangan Pernah Menyalahkan Agama Seseorang yang Berbeda

25 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Akhlak dan perilaku yang baik

    Pentingnya Memiliki Akhlak dan Perilaku yang Baik Kepada Semua Umat Manusia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Pentingnya Menjaga Kesehatan Mental

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Waspadai Propaganda Intoleransi Jelang Tahun Politik

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jogan Ramadhan Online: Pengajian Khas Perspektif dan Pengalaman Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Piagam Madinah: Prinsip Hidup Bersama
  • Nyai Pinatih: Sosok Ulama Perempuan Perekat Kerukunan Antarumat di Gresik
  • Pentingnya Memahami Prinsip Kehidupan Bersama
  • Q & A: Apa Batasan Sakit yang Membolehkan Tidak Puasa di Bulan Ramadan?
  • Jogan Ramadhan Online: Pengajian Khas Perspektif dan Pengalaman Perempuan

Komentar Terbaru

  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja pada Pesan untuk Ibu dari Chimamanda
  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist