Mubaadalahnews.com,- Kenapa perempuan lebih rentan menjadi korban KDRT? Kekerasan terhadap perempuan dari tahun ke tahun semakin meningkat. Hal itu bisa dilihat dari data Komnas Perempuan selama tiga tahun terakhir dari tahun 2015-2017. Pelecehan, kekerasan verbal ataupun fisik, cukup banyak dirasakan perempuan di Indonesia.
Komnas Perempuan mencatat tahun 2015 ada sekitar 16.217 kasus. Angka itu meningkat di tahun 2016, ada sekitar 259.150 kasus. Angka kekerasan terus meningkat, hal itu bisa dilihat dari angka kekerasan terhadap perempuan tahun 2017 yang menyebutkan 348.466 kasus.
“Dari kekerasan yang menimpa perempuan, yang paling banyak terjadi pada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),” kata Direktur Eksekutif Rahima, Pusat Pendidikan dan informasi Hak-hak Perempuan dalam Islam, AD Eridani kepada Mubaadalahnews melalui pesan tertulisnya, 11 Desember 2018.
Dia mengaku heran kenapa angka kekerasan terhadap perempuan terus meningkat seperti catatan tahunan Komnas Perempuan. Padahal sudah ada Undang-Undang Penghapusan KDRT nomor 23 tahun 2004. Nyatanya hal itu tidak cukup untuk mencegah atau bahkan mengurangi kekerasan terhadap perempuan dan anak.
“Kekerasan terhadap perempuan dan anak terjadi di ruang publik maupun domestik,” ucapnya.
Persoalannya, lanjut dia, kekerasan bukan hanya persoalan struktural, tetapi juga kultural. Bahkan banyak yang memandang persoalan kultural ini lebih mendasar.
“Ini adalah cara pandang terhadap perempuan yang terbangun berdasarkan nilai-nilai dan ajaran-ajaran telah merasuk dalam diri masyarakat, baik secara individual, maupun secara institusional,” terangnya.
Kekerasan Pengaruhi Masa Depan Anak
Selain itu, kekerasan terhadap anak tentu akan mempengaruhi mental anak, dan bisa menjadi trauma, yang akan mempengaruhi kehidupannya, sedangkan anak itu adalah masa depan.
“Yang menjadi rumah tangga menjadi berantakan, dan ibu mengancam keberlangsungan kehidupan masyarakat, karena masyarakat itu basisnya adalah rumah tangga,” terangnya.
Dia menilai, ada berbagai hal yang menjadi menyebab terjadinya kekerasan terhadap anak dan perempuan. Ternyata persoalan kekerasan bukan hanya persoalan struktural. Tetapi juga persoalan budaya.
“Budaya partiarkhi yang sudah merasuk kedalam diri, bukan hanya pada individu tetapi juga institusi masyarakat. Budaya partiarkhi di perkuat oleh pemahaman dan pandangan keagamaan yang bias gender,” jelasnya.
Sebagaimana diketahui masyarakat Indonesia, kata dia, adalah masyarakat agamis. Hampir semua tindakan diupayakan memperoleh pembenaran agama. Sedangkan di dalam masyarakat berkembang pandangan keagamaan yang menempatkan perempuan dipinggiran.
“Pandangan keagamaan yang merendahkan, yang kemudian mengakibatkan tindakan kekerasan kepada perempan dan anak,” ucapnya.
Sesungguhnya pandangan keagamaan yang berkembang adalah tafsir atas ajaran atau teks-teks keagamaan. Menurutnya, hal itu bisa jadi mengacu kepada sumber-sumber yang memiliki otoritas untuk menafsirkan ajaran agama, sehingga dianggap ajaran atau penafsiran agama itu sendiri.
“Memandang rendah perempuan, memingggirkannya, kemudian melakukan tindakan kekerasan kepadanya bertentangan, yang juga berarti merendahkan kemanusiaan, dan hal itu bertentangan dengan agama itu sendiri,” tegasnya.
Islam Tidak Merendahkan Perempuan
Sebab, menurutnya, agama dengan dasar ketauhidan, justru untuk membebaskan manusia dari tindakan yang merendahkan kemanusiaan. Tindakan-tindakan merendahkan kemanusiaan disebut tindakan-tindakah bodoh yang lazim disebut jahiliyah.
Jadi persoalan bukan pada agama tetapi pada pandangan keagamaan, pada tafsir terhadap teks-teks keagamaan, pemahaman terhadap ajaran-ajaran agama yang terbentuk di bawah pengaruh sosial, politik dan budaya.
“Dan pada akhirnya berbalik memperkuat padangan budaya itu sendiri,” imbuhnya.
Atas dasar anggapan seperti itu, lanjut dia, maka muncul gagasan untuk melibatkan para tokoh agama dalam upaya untuk mencegah kekerasan terhadap anak. Sebab tokoh agama, memiliki otoritas menafsirkan ajaran agama dan memiliki pengaruh cukup kuat dalam membangun pemahaman keagamaan masyarakat.
“Mereka manjadi acuan atau menjadi guru bagi masyarakat. Tentu saja untuk mendorong dan mengajak mereka terlibat dalam aksi-aksi melakukan refleksi, merenungkan kembali misi keagamaan dan mengkaji pandangan-pandangan keagamaan, yang memiliki empati kepada kemanusiaan,” terangnya.
Dalam rangka melibatkan peran tokoh agama tersebut, maka perlu sosok-sosok pemandu maupun penggerak yang mendorong peran penting tokoh agama tersebut. “Salah satunya adalah kepala KUA di level kecamatan,” tutupnya.
Demikian penjelasan terkait kenapa perempuan lebih rentan menjadi korban KDRT? Semoga bermanfaat. (WIN)