Mubadalah.id – Ketika menjawab anak lelakinya, Ghaza Al Ghazali tentang perlakuannya kepada istri – Teh Ninih, Aa Gym menunjukkan bukti cintanya dengan menyatakan. “Hanya saya, suaminya yang mencintainya. Ini buktinya, selama berumah tangga (19 tahun?), istri saya sudah “turun mesin” tujuh kali”.
Bagi penganut faham kuantitatif, bukti itu bisa diandalkan. Tapi coba tanya kepada perempuan? Benarkah banyak anak adalah bukti besarnya cinta suami kepada istri?
Semua anak di mata ibunya adalah buah hatinya. Anak-anak itu lahir melalui penderitaannya yang maha berat sejak hamil, melahirkan, dan menyusuinya. Tentang bagaimana riwayat kelahiran anak dan peristiwa yang melatarinya, hanya sang Ibu yang tahu. Tapi klaim banyak anak merupakan bukti besarnya cinta bapaknya kita boleh bertanya-tanya.
Dalam studi gender setidaknya tiga hal yang dapat dipakai untuk menganalisis pernyataan Aa Gym. Pertama analisis bahasa. “Turun mesin” adalah istilah yang menyamakan istri dengan kendaraan bermesin seperti mobil. Bayangkan! konsep apa yang ada di benak seorang suami jika istrinya dianalogikan seperti kendaraan. Mobil tua, bisa dikoleksi atau dijual lagi lalu menukarnya dengan yang baru. Itulah yang dilakukan Aa Gym bukan? Jadi istri keduanya pun siap-siap saja dilego juga.
Kedua, kita dapat melihatnya dari isu hak-hak reproduksi. Itu adalah hak yang disepakati oleh komunitas dunia (Konferensi ICPD Kairo 1994). Bab tentang akankah dan kapankah perempuan hamil menjadi salah satu hak yang mutlak dilindungi. Menyertai hak itu, perempuan harus mendapatkan informasi yang benar, dan dilayani keputusannya, baik oleh suaminya atau oleh negara.
Namun pernahkah kita mendengar perempuan yang tak mampu menolak untuk hamil? Misalnya karena pasangannya super malas menggunakan kondom atau tak mau tahu kalender masa subur si istri sementara ia mengharamkan KB.
Dalam kajian Islam dan kesehatan reproduksi, Imam Ghazali di awal abad ke 12, telah menetapkan prinsip perlindungan hak asasi manusia yang juga meliputi hak reproduksi. Dalam konsep daruriatul hams, lima prinsip dasar untuk perlindungan manusia, Imam Ghazali menetapkan hak berketurunan (hifdun nasl) yang harus dipenuhi demi menjaga kehidupan (hifdun nafs).
Dalam konteks itu Imam Ghazali memperkenalkan etika berhubungan seks yang antara lain dengan konsep “azl”, kontrol pada lelaki untuk mengatur ejakulasinya dengan tidak melanggar hak istri dalam menjalankan fungsi reproduksinya dengan nyaman dan aman.
Ketiga, dalam studi tentang KDRT, anak banyak dapat ditelisik dari adanya kemungkinan siklus kekerasan. Dalam siklus itu, pertama, istri tak punya kontrol atas rahimnya sendiri, kedua, ini yang sangat berbahaya tapi jarang disadari yaitu adanya siklus kekerasan yang mengiringi kehamilan demi kehamilan.
Dalam siklus kekerasan, peristiwa kekerasan dimulai dari adanya ketegangan, setelah terjadi konflik bahkan ditandai kekerasan fisik atau non-fisik, pasangan itu biasanya akan masuk ke eskalasi puncak, saling membenci. Lanjutannya ada dua kemungkinan, masuk ke masa jeda dan baikan kembali atau lanjut ke perceraian.
Jika yang terjadi adalah rekonsiliasi dengan atau tanpa perjanjian untuk memperbaiki hubungan yang menyebabkan konflik, mereka biasanya masuk ke masa “bulan madu” semu. Di saat itu, jika tak hati-hati si istri akan terbuai rayuan si suami yang akan memberikan bukti cintainya dengan menambah anak!
Dalam training tentang kekerasan di dalam rumah tangga, seorang hakim baru menyadari tentang adanya siklus kekerasan setelah ia menangani kasus perceraian yang maju mundur, yang tuntutannya diajukan sejak anak mereka kedua dan baru baru benar-benar cerai setelah si istri guat cerai, lalu dicabut kembali karena hamil, dan masuk perkara lagi setelah si istri babak belur. Anda tahu pada anak ke berapa akhirnya perkara cerai benar-benar terjadi? Setelah punya anak lima!
Setiap kelahiran merupakan bukti cinta pertaruhan nyawa seorang ibu, tapi kelahiran anak sama sekali bukan penanda cinta mati suami kepada istrinya. Apalagi jika setiap kelahiran anaknya hanya dianggap sebagai turun mesin! []