Mubadalah.id – Pernikahan diibaratkan sebagai jalan menuju keindahan, kebahagiaan dan kesejahteraan dalam kehidupan. Ketika pernikahan akhirnya tidak sesuai dengan impian, banyak orang mengakhiri pernikahan di meja persidangan. Pernikahan adalah sesuatu hal yang sakral, sebuah ibadah. Pensakralan membuat semua orang berhati-hati saat memutuskan menikah. Karena hubungan pernikahan tidak selamanya mulus. Pahamilah kesiapan masing-masing pasangan.
Pensakralan juga dimaksudkan agar semua orang tidak mudah patah semangat dan tidak mudah bercerai. Meskipun demikian, kata ‘sakral’ ini tak cukup ampuh untuk benar-benar menghindari kata ‘cerai’.
Belakangan saya mendengar cerita yang cukup membuat saya tercengang. Ada sepasang suami istri yang memutuskan bercerai saat usia pernikahannya baru menginjak tiga bulan.
Mendengar cerita tersebut saya jadi bertanya-tanya apakah keputusan mereka untuk menikah itu salah? Sehingga di usia pernikahan yang baru seumur jagung tersebut harus berakhir di meja persidangan?
Bukankah saat mereka memutuskan untuk menikah minimal mereka sudah siap untuk menjadi pasangan suami-istri yang saling mengasihi, menyayangi dan melengkapi satu sama lain?
Dalam buku Bergerak Menuju Keadilan; Pembelaan Nabi terhadap Perempuan karya KH Faqihuddin Abdul Kodir, saya menemukan hadits yang berbunyi “Wahai para pemuda, siapa di antara kalian yang memiliki kemampuan, menikahlah karena menikah itu bisa menundukkan mata dan menjaga kemaluan. Dan siapa yang tidak mampu, berpuasalah karena puasa itu bisa menjadi kendali baginya.” (Riwayat Imam Bukhari).
Dalam buku tersebut dijelaskan, menikah dalam teks hadits yang disebutkan di atas berkaitan dengan kemampuan seseorang. Bagi orang yang tidak memiliki kemampuan atau kesiapan, dia tidak dikenai anjuran menikah.
Menurut sebagian besar ulama fiqh, hukum menikah terkait dengan kondisi kesiapan mempelai; bisa sunnah, wajib, makruh, dan haram.
Ibn Daqiq al-‘Id menjelaskan menikah bisa wajib ketika seseorang merasa sangat tergantung untuk menikah, yang jika tidak dilakukan ia bisa terjerumus pada perzinahan.
Menikah juga bisa menjadi haram, ketika pernikahan menjadi ajang penistaan terhadap istri atau suami, baik dalam hal nafkah lahir maupun batin.
Menjadi sunnah, jika ia tidak tergantung terhadap menikah, tetapi bisa mendatangkan manfaat baginya. Jika menikah tidak mendatangkan manfaat, hukumnya justru menjadi makruh.
Imam al-Ghazali (w. 505 H) misalnya, menyatakan bahwa bagi seseorang yang merasa akan memperoleh manfaat dari menikah dan terhindar dari kemungkinan penistaan dalam pernikahan, sebaiknya ia menikah.
Lain hal, ketika ia justru tidak akan memperoleh manfaat, atau tidak bisa menghindari kemungkinan penistaan, maka tidak dianjurkan menikah.
Jika melihat dari beberapa penjelasan tersebut, alangkah baiknya antara perempuan dan laki-laki yang memutuskan untuk menikah, sekiranya bisa saling memahami kesiapan masing-masing. Baik kesiapan lahir maupun batin.
Jika kedua belah pihak belum mengetahui seberapa jauh kesiapannya, dikhawatirkan pernikahan tersebut tidak akan membawa kebahagiaan untuk keduanya.
Nanti setelah menikah dan berumah tangga, segala hal yang tadinya diurus sendiri-sendiri akan dilakukan bersama. Mereka akan saling melengkapi, menjaga dan mengasihi satu sama lain. Karena saat berbicara rumah tangga berarti bukan membicarakan salah satu pihak tapi keduanya.
Karena sejatinya setiap orang baik perempuan maupun laki-laki memiliki hak yang penuh agar benar-benar bisa menemui harapan cinta kasih dan kedamaian dalam pernikahan.
Seperti tujuan pernikahan yang digambarkan dalam Al-Qur’an, yaitu untuk membentuk kehidupan yang penuh dengan cinta kasih dan kedamaian.[]