Mubadalah.id – Pada hakikatnya, manusia diciptakan dari diri yang satu (Nafsun Wahidah) sehingga manusia memiliki kedudukan yang sama di hadapan Tuhan, tanpa dibedakan berdasarkan jenis kelaminnya. Al-Qur’an menegaskan bahwa antara manusia baik laki-laki maupun perempuan diciptakan dari bahan yang sama yaitu Nafsun Wahidah.
Allah swt. berfirman dalam surah Al-Nisa ayat satu;
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا (1)
Artinya, “wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan (Allah) menciptakan pasangannya dari dirinya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan erempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan-Nya kamu saling meminta, dan (peliharahlah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya, Allah selalu menjaga dan mengawasinya.” [QS. Al-Nisa:1]
Buya Hamka, dalam menafsirkan kata Nafsun Wahidah yang terkandung dalam ayat di atas, mengatakan bahwa Nafsun Wahidah tersebut memilki dua tafsiran, sebagaimana diungkapkan dalam bukunya; Buya Hamka Berbicara Tentang perempuan [1]. Tafsiran pertama, sebagaimana yang sudah masyhur bahwa Nafsun Wahidah itu adalah Nabi Adam as. Syeh Nawawi Al-Bantani dalam tafsirnya Mirahu Labid [180/1] , mengatakan bahwa pada mulanya Allah swt hanya menjadikan satu diri saja yaitu Adam. Kemudian Adam ditempatkan di surga. Setelah itu, dari diri yang satu itulah Allah menciptakan pasangan untuknya yaitu Siti Hawa.
Kedua, tafsiran dari kata Nafsun Wahidah tersebut bukanlah semata-mata tubuh yang kasar melainkan merupakan diri. Buya Hamka mengatakan, Diri manusia pada hakikatnya ialah satu. kemudian diri manusia dibagi atau dibelah menjadi dua, satu berjenis laki-laki dan yang lain berjenis peremuan yang dikenal dengan Nabi Adam as. dan Siti Hawa. Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa kendatipun manusia berupa dua jenis yang berbeda, laki-laki dan wanita namun hakikatnya jenis tersebut tetaplah satu, yaitu manusia (Nafsun Wahidah). Laki-laki dan perempuan sama-sama manusia.
Asal yang satu kemudian dibelah menjadi dua, maka sangat terasa bahwa belahan yang satu membutuhkan yang lain, laki-laki membutuhkan perempuan dan sebaliknya perempuan juga membutuhkan laki-laki. Hidup belum lengkap jika keduanya belum dipertemukan kembali dalam format yang berbeda yaitu mahligai rumah tangga. Itulah salah satu ayat yang membicarakan asal-muasal berkembang biaknya manusia di dunia.
Dua penafsiran tentang Nafsun Wahidah yang berkembang di tengah masyarakat termasuk kalangan umat islam sendiri ternyata tafsiran yang pertama. Padahal, yang lebih tepat seharusnya adalah penafsiran yang kedua, bahwa semua manusia tumbuh dari sumber yang sama sehingga tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dari segi kemanusiaan. Rasyid Ridha dalam kitab Tafsir Al-Mannar [232/1], mengemukakan bahwa Nafsun Wahidah adalah Adam dan Siti Hawa, yang diciptakan dari tulang rusuknya Adam merupakan kisah-kisah yang termaktub dalam perjanjian lama (Kejadian II: 21-22).
Bahkan, M. Quraish Shihab mengutip statemen Rasyid Ridha yang mengatakan, “Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Nabi Adam as. dan Siti Hawa dalam perjanjian lama niscaya pendapat yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam tidak akan pernah terlintas di benak seorang muslim.”
Dengan demikian, asal-usul awal penciptaan manusia pertama kali adalah satu yaitu Nafsun Wahidah yang kemudian oleh Allah swt. dibelah menjadi dua yang mana belahan-belahan tersebut saling membutuhkan satu sama lain. Oleh karena itu, kedudukan manusia baik laki-laki maupun perempuan memiliki kedudukan yang setara di hadapan Tuhan terlepas dari perbedaan-perbedaan keduanya. Wallahu A’lam Bissawab. []