Pekan kemarin ada dua peristiwa yang menggelisahkan saya. Pertama, tentang teror melalui pesan singkat sesama siswa yang memaksa mengenakan jilbab di salah satu sekolah negeri. Lalu kasus lainnya, seorang siswi yang dikeluarkan oleh pihak sekolah, karena mengucapkan selamat ulang tahun kepada lawan jenis. Kedua peristiwa ini terjadi di Jawa Tengah.
Dari dua kasus ini, yang menjadi sorotan adalah lembaga pendidikan setingkat sekolah menengah, dan melibatkan anak-anak perempuan yang berusia remaja. Saya membayangkan di usia mereka yang belia, sudah dihadapkan pada ketidaknyamanan, mengatur tubuh sendiri dan bagaimana berrelasi antara perempuan dengan laki-laki, tanpa ada ruang diskusi, dan memberi kesempatan bagi mereka untuk bicara.
Setidaknya dengan mendengarkan suara mereka, kita menghadirkan Islam yang tidak menakutkan, menyeramkan, dan mengekang perempuan. Sebaliknya bagaimana berislam yang ciye-ciye bagi remaja putri, yakni dengan mengedepankan perspektif mubadalah.
Sebab, sekilas saya membaca tema “Mendudukkan makna fitnah (pesona) perempuan secara mubadalah”, yang relevan dengan peristiwa di atas, dalam buku Qira’ah Mubadalah halaman 282 Dr. Faqihuddin Abdul Kodir menulis bahwa ulama-ulama kontemporer, seperti Muhammad al Ghazali, Abu Syuqqah, dan al-Qardhawi, mensinyalir fatwa-fatwa yang mengekang perempuan lebih banyak didasarkan pada cara berpikir sadd al-dzari’ah (menutup jalan) yang seringkali berlebihan.
Yaitu, logika pengambilan pandangan dan hukum Islam dengan melihat akibat buruk yang ditimbulkan oleh keberadaan perempuan di ranah sosial, sehingga harus dicegah, ditutup atau dilarang, untuk menutup atau setidaknya mengurangi dampak buruk yang terjadi di masyarakat, termasuk bagi remaja putri.
Pergaulan berresiko, seks bebas, kehamilan di luar nikah, kekerasan dan pemerkosaan terhadap perempuan itu terjadi karena kehadiran tubuh perempuan di tempat-tempat yang dianggap tidak semestinya. Di pasar, di sekolah, jalanan umum, transportasi publik, kantor pemerintahan, bahkan masjid dianggap oleh cara pandang sadd al-dzari’ah sebagai tempat yang tidak semestinya bagi perempuan.
Karena seringkali keberadaan mereka bisa mengundang niat jahat seseorang kepada mereka sendiri. Jika logika ini terus dikembangkan, dan tanpa kontrol, maka perempuan akan terus menerus menjadi sasaran segala bentuk pengekangan dan pelarangan.
Cara pandang ini pula yang menurut penulis dipakai oleh pengelola lembaga pendidikan di mana remaja putri tersebut bersekolah. Alih-alih memberikan pendampingan dengan penuh kasih sayang, laiknya terhadap anak-anak yang masih dilindungi oleh UU Perlindungan Anak, malah melakukan penghakiman sepihak. Meniadakan proses pendidikan yang memanusiakan perempuan.
Fakta tersebut mungkin tak hanya di satu atau dua sekolah. Peristiwa yang sama bisa terjadi pada remaja putri lainnya, di mana saja, dan kapan saja. Ketika hal itu benar-benar ada, maka meminjam kalimat KH. Husein Muhammad agar kita jangan mengutuki kegelapan. Tetapi bagaimana caranya menyalakan cahaya meski hanya kerlip lilin yang kecil saja.
Maka saya menulis ini, sebagai upaya menyulut lilin kecil, bentuk pembelaan terhadap para remaja putri agar tak gentar menghadapi persoalan yang kerap menimpa, yang itu disebabkan karena ia adalah berjenis kelamin perempuan, dan memiliki tubuh seorang perempuan.
Sementara bagi masyarakat secara luas, agar merubah cara pandang sadd al-dzari’ah tadi, menjadi lebih terbuka dan melihat kembali potensi kemanusiaan perempuan. Di mana setiap getar suaranya, menjadi pertanda keadilan itu nyata atau tidak, telah ditegakkan di muka bumi ini.[]