Mubadalah.id – Piagam Madinah adalah warisan peradaban Islam yang dicetuskan oleh Nabi Muhammad. Secara prinsip dalam piagama Madinah mengatur hak warga negara dengan baik dan adil. Setidaknya ada tiga prinsip Piagam Madinah yang dicetuskan Nabi Muhammad untuk mengatur hubungan warga negara?
Dalam undang-undang Madinah, ada banyak poin-poin sebagai konsesnsus bersama dari rakyat Madinah. Ibnu Katsir misalnya menyebutkan sekitar 47 tujuh poin yang tercantum di piagam Madinah guna mengatur serta menjamin kehidupan masyarakat.
Tiga Prinsip Piagam Madinah
Dalam poin-poin piagam Madinah itu bisa dikerucutkan menjadi tiga nilai universal dalam pemerintahan. Pertama, kebebasan. Kedua, keadilan. Ketiga, nasionalisme. Ketiga nilai ini sebagai tolok ukur interaksi kaum mayoritas dan minoritas yang dikonstruksi oleh Nabi saat berada di Madinah.
Ada sedikit persamaan antara umat muslim Madinah tempo dulu dengan umat muslim di Indonesia. Pertama, umat muslim mendirikan Madinah sebagai Negara bersama-sama dengan kalangan non muslim, sebagaimana Indonesia didirikan oleh rakyat yang beragam.
Kedua, umat muslim di Madinah bisa dibilang termasuk kalangan mayoritas, sebagaimana Indonesia. Oleh karena itu, sangat relevan kiranya jika umat muslim Indonesia mengambil pelajaran dari komunitas mayoritas muslim Madinah dalam bersikap dan berinteraksi dengan minoritas.
Kebebasan Beragama
Sebagaimana sudah maklum bahwa Madinah memiliki beragam suku, budaya dan agama. Dari golongan non muslim, diantaranya tiga golongan Yahudi, Bani Qainuqa’, Bani al-Nadhir dan Bani Quraidhah.
Mereka hidup di Madinah sebelum umat muslim tiba di Madinah. Maka Nabi Muhammad sadar akan tanggung jawab sehingga beliau tidak memaksakan kehendaknya kepada masyarakat agar masuk Islam. Bahkan, Beliau menganisiasi Piagam Madinah yang mengakomudasi seluruh rakyat, baik yang mayoritas maupon minoritas tanpa memandang agamanya. Piagam yang menjamin hak minoritas, kesetaraan dan keadilan. Setiap masyarakat dijamin hak keberagamannya.
Ibnu Katsir menuturkan dalam kitabnya al-Bidayah wa al-Nihayah [3/273-275], bahwa dalam piagam itu, Nabi Muhammad mengakui eksistensi agama dan hartanya kaum Yahudi bahkan tidak boleh menganggu terhadap ketentraman mereka selama kaum yahudi itu tidak membelot atas konsensus yang dibuat. Tepatnya, pada poin ke dua lima sebagai berikut.
-25وَإِنَّ يَهُودَ بَنِي عَوْفٍ أُمَّةٌ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ: لليهود دينهم وللمسلمين دينهم ومواليهم وَأَنْفُسِهِمْ إِلَّا مَنْ ظَلَمَ وَأَثِمَ فَإِنَّهُ لَا يُوتِغُ إِلَّا نَفْسَهُ وَأَهْلَ بَيْتِهِ
“sesungguhnya Yahudi Bani ‘auf adalah umat sebagaimana orang-orang mukmin: bagi Yahudi dan Muslimin (jaminan kebebasan) dalam agama, harta dan diri mereka kecuali zhalim dan melanggar. Maka mereka hanya menghancurkan dirinya dan keluarganya sendiri”
Dalam poin itu, Nabi mengakui dan menerima eksistensi non-muslim yang minoritas. Sekaligus menyetarakan kebebasan beragama, baik muslim yang mayoritas maupun non-muslim yang minoritas sebagai jaminan dari Negara. Sedangkan poin-poin selanjutnya Nabi menyebutkan hak yang sama dengan Bani ‘Auf kepada kaum Yahudi yang berbeda suku, diakui sebagai hak rakyat minoritas yang wajib dijamin negara selama tidak menentang.
Keadilan di atas Agama
Nilai yang tidak kalah penting dalam negara adalah menjunjung keadilan dalam mengatur kemakmuran rakyatnya. Bagi Nabi Muhammad dan Tuhannya, keadilan merupakan nilai tertinggi bahkan lebih tinggi dari agama itu sendiri.
Dalam kitab-kitab tafsir diceritakan, suatu ketika ada seorang muslim yang berani memfitnah orang Yahudi. Wahbah al-Zuhayli dalam kitab Tafsir Munir-nya [257/5], menerangkan, suatu ketika ada lelaki muslim dari golongan Anshar yang bernama Tham’ah bin Ubairiq dititipi barang oleh seseorang, dalam barang itu tersimpan tepung.
Kemudian barangnya dicuri orang dari kalangan bani Dhazfar. Akan tetapi, Tham’ah bin Ubairiq menuduh tetangganya Zaid bin Samin yang beragama Yahudi. Dengan sengaja menaburkan tepung itu sampai ke rumah Zaid sebagai bukti (palsu).
Ketika pemilik barang datang meminta barang yang dititipkan, Tham’ah menghela dan mengaku tidak tahu. Maka pemilik itu mencari dan mengikuti bekas tepung yang kemudian berakhir di rumahnya Yahudi tersebut. Otomatis, pemilik barang menyangka yang mengambil adalah Zaid bin Samin.
Merasa dituduh mencuri, Zaid langsung menyangkal dan mengatakan bahwa yang menabur tepung itu adalah Tham’ah. Lalu Yahudi yang lain memberi kesaksian untuk Zaid. Hanya saja, kesaksian itu tidak diterima karena takut melakukan konspirasi sesama Yahudi.
Setelah konfirmasi kepada Tham’ah akan kebenarannya ternyata Tham’ah mengingkarinya ia tidak mengakui bahwa ia yang menaburkan tepung tersebut. maka pemilik barang mengajak kepada semuanya untuk mengadukan kepada Nabi Muhammad sebagai hakim. Tham’ah dan pemilik barang terus melakukan perlawanan bahwa Zaid bin Saminlah pencurinya.
Sedangkan Nabi sebagai hakim menilai yang nyata karena dari segi bukti konkret Tham’ah lebih unggul. Hampir saja, Nabi memutuskan putusan hukum kepada Yahudi itu akan tetapi Allah Swt membelanya sekaligus membela keadilan, dan menurunkan ayat [al-Nisa: 105] untuk membeberkan tuduhan tidak benar Tham’ah kepada Zaid bin Samin. [al-Zuhayli, Tafsir Munir: 257/5]
Inilah keadilan yang hakiki yang lebih tinggi dari Agama. Siapapun yang salah tetap dihukum sesuai dengan kesalahanya tanpa memandang etnis dan agama. Meski orang muslim, jika melakukan kesalahan tetap dihukum dan meskipun non-muslim jika benar tetap dibela, itulah keadilan sejati.
Nasionalisme
Dalam piagam itu pula, Nabi menekankan rasa nasionalisme untuk selalu menjaga tegaknya Negara Madinah dari serangan musuh, maupun oposisi yang berusaha merong-rong keutuhan Negara. Satu sama lain memiliki kewajiban bahu-membahu menjaga stabilitas Negara.
Misalnya dalam poin duapuluh empat yang kemudian diulangi kembali pada poin tigapuluh delapan. Sementara pada poin ketigapuluh tujuh Nabi Menandaskan pentingnya bersatu, sebagaiamana Ibnu Katsir mengulaskan:
“37- atas Yahudi nafkahnya dan atas muslimin nafkahnya sendiri. Keduanya memiliki kewajiban bersatu untuk melawan orang-orang yang ingin menghancurkan piagam ini. dan sesungguhnya mereka berkewajiban memberi nasihat satu sama lain dan gotong royong dan tidak berkhianat, dan yang dibantu mereka yang dizalimi (baik muslim maupun non muslim).” [ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah: 3/275-276]
Nilai universal ini mampu mempersatukan perbedaan suku-suku, agama dan etnis menjadi perjuangan bersama dalam rangka menciptakan kehidupan yang berdaulat. Undang-undang Negara yang direfleksikan oleh Nabi dalam Piagam Madinah itu sesungguhnya melampaui kemoderenan zamannya bahkan di abad 21 ini, sebagaimana banyak diakui oleh kalangan teoritis tata Negara, baik barat maupun timur.
Sayangnya, ternyata mayoritas Yahudi membelot dan melanggar perjanjian yang dilakukan sehingga secara terpaksa dilumpuhkan. Menurut Syeh Sa’id Ramadan al-Buthi, Mereka di perangi bukan karena faktor agamanya melainkan pengkhianatannya.
Namun secara umum, umat muslim yang mayoritas di Madinah melakukan interaksi dengan baik kepada non-muslim yang minoritas. Mereka tidak sewenang-wenang memperlakukan non-muslim baik dari segi agamanya padahal waktu itu sudah jelas-jelas Islam dijamin baik dengan keberadaan Nabi Muhammad. akan tetapi, baliau tetap mengakui eksistensi agama minoritas.
Demikian penjelasan terkait tiga prinsip Piagam Madinah yang dicetuskan oleh Rasulullah. semoga pelbagai prinsip yang terkandung dalam Piagam Madinah memberikan penjelasan kepada kita bahwa Islam adalah agama yang sesuai dengan nilai kebangsaan dan keindonesiaan kita.
[]