Mubaadalahnews.com,- KOPRI Komisariat UIN Sunan Gunung Djati Cabang Kabupaten Bandung bekerjasama dengan Yayasan Fahmina mengadakan Majelis Mubaadalah ke-27 di Pondok Pesantren Anak Jalanan At-Taamur Cibiru Hilir Bandung (17 Mei 2019).
Terdapat tiga pemateri dalam acara ini, yaitu Prof. Nina Nurmila, Ph.D, Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Ir. Neni Utami, M.T. Pendiri RA Alif Cileunyi Bandung dan DR. KH. Faqihuddin Abdul Kodir penulis buku Qiraah Mubaadalah.
Prof. Nina menyatakan bahwa Buku Qiraah Mubadalah adalah sebuah cara untuk melawan paham-paham patriarkal. Beliau menyatakan bahwa jika kita meyakini Allah Maha Adil maka sudah seyogyanya kita meyakini bahwa ayat-ayat yang Allah turunkan mendukung pada keadilan.
Beliau menambahkan, dalam keluarga teori mubadalah juga bisa diciptakan, contohnya dalam membangun keluarga. Maka pernyataan yang hadir bukanlah “aku mencintaimu dan aku harus bahagia” akan tetapi “aku mencintaimu dan aku ingin kamu berbahagia denganku”.
Ir. Neni sebagai orang yang hadir langsung di lingkungan memberikan banyak contoh kasus yang ada di dalam lingkungan patriarki. Bukan hanya pada relasi antara pasangan akan tetapi juga hubungan orang tua dan anak, teman sebaya dan individu dengan lingkungannya.
Menurutnya semua ketimpangan yang ada itu dikarenakan oleh konstruksi pikiran. Sehingga buku Qiraah Mubadalah menurut beliau sangat tepat hadir sebagai solusi itu semua. Dan menurut beliau relasi itu memang harus didasari “kesalingan”.
Pemateri terakhir, sebagai pemungkas diskusi di Pondok Pesantren Anak Jalanan At-Taamur, disampaikan oleh DR. KH. Faqihuddin Abdul Kodir selaku penulis Buku Qiraah Mubaadalah. Beliau menyatakan bahwa banyak dari kita menggunakan agama untuk mengatur orang lain. Padahal, dalam konteks berelasi agama harusnya hadir sebagai kehidupan.
Kehidupan yang dimaksud adalah apakah Agama itu membuat kita nyaman dan bahagia. Jika Agama dikarenakan dirinya atau kepentingannya maka harus dicurigai bahwa itu bukan untuk agama tapi untuk kepentingan dirinya sendiri.
Dan konsep Mubadalah hadir untuk kebaikan itu. Kebaikan itu harus digotong bersama, bukan hanya untuk satu golongan atau satu jenis kelamin saja. Contohnya jika belajar adalah baik maka keduanya wajib melakukannya bukan hanya laki-laki saja atau perempuan saja.
Sehingga jika suatu perkara adalah kebaikan maka harus dilakukan oleh keduanya, baik laki-laki atau perempuan. Dan jika sesuatu adalah buruk maka harus dijauhi oleh keduanya, bukan hanya salah satunya.
Beliau juga menyatakan bahwa Qiraah Mubadalah hadir untuk menegasikan teks-teks Islam yang berbahasa Arab dan memperhatikan gender agar menghasilkan teks yang berkesalingan. Karena selama ini teks yang tersebar di lingkungan kita itu masih hanya digunakan untuk keuntungan laki-laki.
Contohnya dalam memahami ayat shadaqoh, yang dalam bahasa Arab hanya ditunjukan untuk laki-laki juga dilakukan oleh perempuan. Namun, ayat shalat Jumat yang juga secara bahasa ditunjukan untuk laki-laki seperti hanya ditunjukan untuk laki-laki. Sehingga dengan Metodologi Mubadalah tafsir Al-Quran yang tadinya seperti hanya untuk laki-laki saja bisa juga digunakan untuk perempuan dengan tetap memperhatikan kebutuhan-kebutuhan khas perempuan.(TIA)