Mubadalah.id – ”Rungokna kandhaku ya, Ngger. Isih cilik tak kudang-kudang. Ora liya pangarepanku. Dadya wanita kang utama.” (Dengarkan petuahku, Nak. Masih kecil kau kutimang-timang. Tiada lain dan tiada bukan pengharapanku, Jadilah kau wanita yang utama). Apakah utama itu maksudnya sholehah? Jika perempuan harus sholehah, laki-laki juga harus sholeh dong. Begitu pikiran yang terlintas di benakku.
Petuah ibu tersebut senantiasa terngiang di telingaku, dengan menyisakan kata tanya ”wanita yang utama”. Seperti apakah ia?
Dalam banyak buku-buku yang pernah kubaca dan ceramah yang pernah kudengar dari para ustadz dan ustadzah baik di berbagai pengajian, radio, TV, mereka berusaha menjawab pertanyaan tersebut dengan konsep ”perempuan sholelah”. Dasarnya, adalah pertanyaan Nabi Saw kepada Umar bin Khattab rai:
أَلاَ أُخْبِرُكَ بِخَيْرِ مَا يَكْنِزُ الْمَرْءُ الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهُ وَإِذَا أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ وَإِذَا غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهُ (رواه أبوداود في سننه).
“Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki, yaitu istri sholehah yang bila dipandang akan menyenangkannya, bila diperintah akan mentaatinya dan bila ia pergi meninggalkannya (si istri) ini akan menjaga dirinya”. (Riwayat Abu Dawud, no. 1666).
Harapan tentang perempuan ’sholehah’ tadi menjadi kontras bila melihat situasi di sekelilingku, tentang banyaknya kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh laki-laki. Mereka adalah anak-anak perempuan yang ”sholehah” menurutku bila dilihat dari definisi itu, yang begitu patuh pada orang tua saat ia masih berstatus sebagai anak dan patuh pada suami saat ia telah menikah. Namun ”kepatuhannya” seringkali membawa petaka pada dirinya. Menjadikannya sebagai korban kawin paksa, nikah muda, poligami, bahkan pemukulan oleh sang suami yang merasa punya otoritas untuk mendidik dan mendisiplinkan sang istri.
Perempuan sholehah seringkali hanya diidentikkan dengan peran domestiknya. Seorang perempuan yang menurutku begitu terisolir dan terbatasi ruang geraknya hanya pada tugas-tugas kerumahtanggaan dan pendidikan anak. Bagi perempuan yang banyak beraktivitas di luar rumah dan berupaya untuk mengembangkan dirinya, akan dihakimi sebagai perempuan yang bukan sholehah, kurang baik, dan cenderung dianggap sebagai ”pendosa”. Dalam pernyataan yang lebih ekstrim, sering dikatakan: mereka yang keluar rumah lebih memilih sebagai wanita karir dianggap menelantarkan urusan kerumahtanggaan, abai pada pendidikan anak, dan potensial untuk berselingkuh.
Pada prakteknya, dalam realitas kehidupan, banyak ditemukan kasus laki-laki yang dianggap sebagai pemimpin keluarga justru melakukan tindak kekerasan dan melakukan penelantaran terhadap anak istri. Persis bak lagu ”Bang Thoyyib” yang lama ”nggak pulang-pulang, hingga tiga kali puasa dan tiga kali lebaran.”
Mengapa laki-laki seolah-olah tidak dibebani tugas kerumahtanggaan dan pendidikan anak, seakan rumah dan anak adalah bukan miliki dan tanggung-jawab mereka?
Bahkan mereka juga tidak dituntut agar bisa ”berlaku baik dan menyenangkan” kepada istri mereka?
Urusan ”menjaga kehormatan” tidakkah menjadi kewajiban lelaki juga? Mengapa inipun lebih banyak dibebankan kepada perempuan semata, sementara laki-laki sepertinya dibiarkan begitu saja?
Kalau laki-laki begitu mengharapkan ”perempuan sholehah”, bukankah perempuan perempuan juga mengharapkan kehadiran ”laki-laki sholeh” dalam kehidupannya?
Bisakah kriteria perempuan sholehah untuk sang suami, juga dimaknai sebagai kriteria ”laki-laki sholeh” bagi sang istri?
Laki-laki yang menyenangkan bila dipandang oleh istrinya, yang bisa memenuhi harapan-harapan istrinya –mungkin terlibat dalam pengelolaan kerja-kerja rumah tangga dan pendidikan anak-, dan bila tengah berpergian meninggalkan sang istri ataupun istrinya sedang bepergian untuk satu urusan, ia juga setia dan senantiasa menjaga kehormatannya?
Seperti yang aku dengar dalam berbagai kesempatan ceramah dan membaca berbagai tulisan, Nabi Saw juga senantiasa berhias sehingga menjadikan dirinya menjadi menyenangkan dipandang oleh istrinya. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas “Aku suka berhias untuk istriku sebagaimana aku suka istriku berhias untukku”. Dalam beberapa riwayat juga disebutkan bahwa Nabi juga mencuci bajunya sendiri, menjahit terompahnya yang rusak, bahkan suatu hari ditemukan tertidur di depan rumah sepulang dari suatu majelis karena tak tega untuk membangunkan istrinya Aisyah tercinta.
Soal ”kesholehan”, yang secara bahasa berarti segala perbuatan baik, sejatinya tidak membedakan bentuk amal sholeh, baik di ruang domestik maupun publik. Siapapun yang melakukan perbuatan baik, yang terkatagori sebagai ibadah ”mahdlah” dan ”ghairu mahdhah”, kerja-kerja domestik maupun publik, kerja-kerja produktif maupun reproduktif. Semua ini diapresiasi Islam, siapapun yang melakukan.
Dalam Alqur’an dinyatakan : ”Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” ( QS An Nahl : 16: 97).
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (النحل، 97).
Dus, seperti kata al-Qur’an, melakukan apapun, jika itu baik, maka harus diapresiasi. Yang melakukannya laki-laki maupun perempuan. Hanya dengan cara inilah kehidupan dunai ini akan menjadi lebih baik dan sejahtera, serta kehidupan akhirat akan bahagia.
Semestinya, kita juga harus bersikap adil dalam menentukan standar. Selama ini banyak didengungkan pada perempuan bahwa mengurus rumah tangga dan mendidik anak adalah “jihad”, baik, dan banyak pahala. Namun, mengapa publik mengharapkan bentuk “jihad” semacam itu hanya dilakukan oleh perempuan.
Bukankah keluarga, rumah tangga, dan anak-anak juga menjadi tangung-jawab laki-laki? Atau tepatnya tanggung-jawab bersama suami dan istri? Atau ayah dan ibu?
Tak adakah laki-laki yang tergerak untuk meneladani Rasul dalam upayanya menciptakan keluarga yang berbahagia, dengan membangun romantisme melalui sikap dan perilaku yang baik pada pasangan, terlibat untuk bersama-sama mengerjakan pekerjaan domestik, dan bersama-sama mengasuh dan mendidik anak.
Mudah-mudahan, harapan kita untuk menemukan “perempuan sholehah” akan berbanding lurus dengan hadirnya laki-laki shaleh dalam keluarga. Sehingga laki-laki tidak lagi menggunakan dalil “perempuan sholehah” sekedar untuk mendapatkan pelayanan dan ketaatan tanpa reserve dari perempuan.
Hadis perempuan sholehah seharusnya juga dipahami secara timbal-balik (mubadalah) untuk mendorong laki-laki membangun kepribadian diri sebagai sosok yang sholeh sebagaimana yang juga diharapkan dari perempuan.
Sebagaimana termaktub dalam salah satu penggalan syair “Shalawat Kesetaraan” : Innahu lan nasyhad hayatan thayyibah, illa bijuhdinaa Rijaalan wa Nisaa-an. Innahu lan na’isy hayatan ‘adilah. Illa bi’adlina rijaalan wa nisaa’an. (Sesungguhnya kita tidak akan pernah menyaksikan kehidupan yang baik, kecuali melalui kesungguhan kerja kita bersama lelaki dan perempuan. Sesungguhnya kita tidak akan pernah hidup dalam situasi yang berkeadilan, kecuali dengan sikap adil kita pada lelaki dan perempuan). Semoga!
Penulis: AD. Kusumaningtyas