Mubadalah.id – Beberapa perempuan termasuk penulis, tentu pernah mengalami berada pada posisi takut dan gelisah saat menolak lamaran, terlebih lamaran pertama yang kalau menurut tradisi di lingkungan penulis (mayoritas Madura) disebut sangkal. Artinya lamaran pertama pantang untuk ditolak, karena akan menjauhkan jodoh.
Bahkan di daerah penulis yang masih meng-amiini pamali menolak lamaran pertama, banyak kasus beberapa keluarga yang memaksa anak perempuannya untuk menerima lamaran pertama dan jika tidak cocok besok, lusa, atau bulan depan bisa dibatalkan. Dengan alasan untuk menghormati dan terhindar dari pamali.
Jika menerima lamaran sebatas untuk tertolak di kemudian hari, buat apa? Bukankah justru membuat kita sebagai perempuan anggapannya tidak memiliki prinsip dan konsisten dengan pilihan kita?
Makna Tradisi Lamaran
Namun sepertinya seiring berjalannya waktu, pemaknaan tradisi lamaran ini terus mengalami pergeseran, menyesuaikan dengan kondisi generasi muda saat ini. Pernah suatu hari salah seorang teman bercerita kepada penulis. “Aku ga percaya sama pamali menolak lamaran pertama bakalan ngejauhin jodoh, lah wong setelah ditolak malah ada aja yang datang melamar ke rumah.”
Cerita yang sama juga menyebutkan, telah berkali-kali menolak lamaran karena masih belum siap untuk membangun komitmen. Sebab masih ingin menuntaskan pendidikan ataupun menjelajahi dunia pekerjaan terlebih dahulu. Dari dua cerita ini, mitos tentang pamali menolak lamaran pertama bagi perempuan akan menjauhkan jodoh dan laki-laki akan takut untuk datang lagi sebatas kepercayaan yang terbangun oleh masyarakat.
Memang sebuah dilema tersendiri bagi perempuan. Ketika dia sudah memasuki usia yang menurut standar masyarakat sudah matang untuk menikah. Namun masih terus-menerus menolak lamaran yang datang. Memilih atau menolak lamaran adalah hal penting bagi perempuan, meskipun tidak se-sakral pernikahan. Lamaran adalah jalan awal untuk memasuki hal yang lebih serius lagi.
Meski demikian, perempuan seperti tidak memiliki ruang untuk bersuara dan menyampaikan pilihannya, termasuk memilih untuk menolak lamaran. Sebelum sempat bersuara, sering kali perempuan terbentur dengan tradisi dan kepatuhan yang membuat mereka memilih meski tidak sesuai dengan hati nurani.
Perempuan Berhak Menolak Lamaran
Kiai Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Perempuan (Bukan) Sumber Fitnah, menyebutkan bahwa “Setiap orang termasuk perempuan, berhak menolak tawaran apapun untuk diri dia yang tidak disetujuinya. Ketika sudah berumah tangga saja perempuan berhak untuk mengajukan cerai jika ada alasan yang tepat. Apalagi sebatas lamaran yang baru merupakan tawaran untuk menikah.”
Penjelasan ini mengacu pada Hadist yang terdapat pada Sunan Nasaii, yang dalam konteks hadist tersebut, salah satu kisah pada jaman Nabi Muhammad SAW. Di mana sang perempuan dipaksa menerima lamaran oleh orang tuanya. Maka Nabi menghadirkan ayah sang anak, dan keputusan kembali pada anak perempuan tersebut.
Meski dalam hadist ini berkisah sang anak menerima permintaan sang ayah, hanya saja dia ingin memastikan bahwa perempuan juga memiliki hak untuk bersuara. Rasulullah SAW menyampaikan bahwa perempuan memiliki hak untuk memilih, menerima atau menolak lamaran yang datang padanya. Karena pilihan sepenuhnya berada pada anak perempuan, bukan orang tua nya.
Menerima atau Menolak Lamaran, Perempuan Harus Terlibat
Karena lamaran adalah proses menuju pernikahan antara laki laki dan perempuan. Jadi pada proses penyampaian niat untuk melamar tidak hanya laki-laki dan keluarga saja, akan tapi juga menghadirkan perempuan sebagai orang yang akan menjalankan kehidupan pernikahan nantinya.
Perempuan tidak bisa sebatas menjadi objek yang tidak terlibat dalam menentukan pilihan. Karena perempuan adalah subjek penuh kehidupan yang juga memiliki hak atas pilihan dalam hidupnya. Memilih atau menolak lamaran berada penuh di tangan perempuan sendiri, karena merekalah yang akan menjalankan kehidupan, berelasi dengan pasangannya. Yang harus kita perhatikan adalah saat menolak lamaran, perempuan harus bertanggung jawab atas pilihannya.
Jadi, mulai hari ini mari hilangkan kebiasaan memberikan stigma buruk pada perempuan yang menolak lamaran. Terlebih setelah dia melalui proses musyawarah dan berpikir panjang. Sebab alasan dan pilihan perempuan adalah valid. Entah pilihan untuk meneruskan pendidikan atau pilihan untuk mengejar pendidikan maupun pilihan lainnya.
Karena menerima atau menolak lamaran bukan perihal proses satu atau dua hari. Namun pintu awal menuju pernikahan yang merupakan ibadah terpanjang dalam hidup. Perempuan juga memiliki hak untuk menentukan partner perjalanan hidupnya, yang bisa membuatnya tetap menjadi diri seutuhnya. Dan dengan setiap impian yang dia miliki sebelum bersama dengan pasangannya. []