Mubadalah.id – Momentum tahun baru hijriyah adalah kesempatan kita untuk mengambil kembali spirit hijrah yang menjadi tonggak kesuksesan sejarah Islam. Jamak kita ketahui, perjuangan Nabi Muhammad SAW menyebarkan kalimatullah di Makkah selama kurang lebih 12 tahun lebih mengalami banyak hambatan dan rintangan. Bahkan seperti mengalami kemandekan. Lalu pada akhirnya kemajuan Islam mulai nyata terasa setelah peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah/Yatsrib.
Tapi tahukah kalian, ada kisah di balik kesuksesan hijrah Nabi Muhammad SAW yang monumental itu. Karena ternyata ada peran perempuan tangguh yang sangat besar sumbangsihnya. Beliau adalah Asma binti Abu Bakar ra, putri dari sahabat Nabi, Abu bakar As-sidiq ra dan sekaligus kakak dari Aisyah ra yang kemudian kita kenal sebagai istri Nabi.
Dalam proses hijrah Nabi Muhammad SAW ini, beliau bersembunyi dari kejaran kafir Quraiys selama tiga hari di Gua Tsur yang berada di atas bukit. Selama itulah, Asma setiap malam hari dalam kondisi hamil, keluar rumah menantang bahaya dan menghindari mata-mata kaum kafir Quraiys, mendaki bukit untuk mengantar makanan kepada ayahnya dan Nabi. Untuk menghilngkan jejak, setiap pagi pembantunya menggembala kambing di sepanjang rute yang Asma lewati, sehingga jejaknya tersamarkan.
Makna Hijrah bagi Perempuan
Bagi saya pribadi, ini adalah catatan penting tentang peran perempuan. Di mana perannya kadang tidak pernah diceritakan. Kehadirannya jarang tertuliskan dalam buku-buku sejarah Islam. Posisinya kadang dianggap tidak penting, samar, lalu hilang sama sekali. Padahal melalui banyak kisah, termasuk dalam proses tercetusnya hijrah Nabi ini, perempuan bisa memiliki peran penting dalam sejarah, tanpa harus menjadi laki-laki.
Atau perempuan juga bisa mengambil peran yang sama dengan laki-laki. Pada prinsipnya keseimbangan tercapai karena ada pembagian peran. Baik itu di ruang logistik dan domestik yang akrab dengan kehidupan perempuan. Meksi kenyatannya terkadang hanya terlihat sebelah mata.
Fakta lain, peran logistik yang Asma ambil adalah perjuangan yang berat dan membutuhkan mental maskulin di dalamnya. Dari mulai mengatur strategi, menantang bahaya, mendaki gunung dan bahkan bermain intrik spionase agar terhindar dari intaian kafir Quraisy
Asma binti Abu Bakar
Ada kejadian menarik yang melibatkan Asma binti Abu Bakar dalam peristiwa hijrah tersebut. Suatu ketika, saat hendak mengirimkan makanan kepada Nabi dan ayah tercintanya, Asma tidak menemukan selendang untuk menggantung makanannya. Akhirnya, tanpa ragu ia merobek ikat pinggangnya menjadi dua bagian; satu bagian untuk menggantung makanan, satu helai lainnya ia gunakan sebagai sabuk. Sebab kejadian itu, Asma binti Abu Bakar mendapat julukan “Dzatun Nithaqaini” (perempuan yang mempunyai dua ikat pinggang).
Selain itu, pengorbanan Asma untuk Islam juga tidak main-main. Ia tidak ragu merelakan seluruh harta keluarganya dibawa ayahnya ketika peristiwa hijrah. Ia bahkan “membohongi” kakeknya, Abu Quhafah, dengan mengatakan bahwa ia telah ditinggali harta yang cukup banyak. “Sekali-kali tidak, Kakek. Sesungguhnya beliau telah menyisakan buat kami harta yang banyak,” ujar Asma.
Asma binti Abu Bakar adalah teladan perempuan dalam berhijrah. Jika hijrah adalah berpindah dari kebatilan kepada kebaikan, maka makna hijrah di sini adalah mengambil peran dalam perjuangan menegakkan kalimatullah. Hijrah adalah dakwah bil hal. Bertindak dan mengambil peran yang bisa kita berikan bagi kehidupan di sekitarnya. Berhijrah tidak harus menjadi apa, tetapi menjawab apa yang ada di sekeliling kita. Bagaimana kita mampu menerima tantangan untuk memajukan umat.
Dan peran perempuan tentu tidak bisa lepas dari kodratinya sebagai perempuan. Maka ruang apapun yang ia ambil, meskipun itu adalah lingkup domestik, tetap akan bermakna jika kita penuhi dengan penuh rasa tanggung jawab dan keikhlasan. Sebagaimana yang telah diteladankan oleh Asma binti Abu Bakar ra. []