Mubadalah.id – Pengasuh Pondok Pesantren Mahasina Darul Qur’an wal Hadits, Nyai Hj. Badriyah Fayumi, Lc. MA menjelaskan bahwa meskipun realitasnya kawin anak banyak menyebabkan kemudaratan, tetapi angka kawin anak masih tetap tinggi.
Hal ini disebabkan, karena praktik kawin anak mendapatkan dukungan dari peraturan perundang – undangan, pemahaman keagamaan, dan kultur masyarakat yang ada.
Oleh karena itu, Nyai Badriyah mengajak mari meminimalkan kawin anak tidak cukup hanya dengan melakukan edukasi kepada anak, tapi juga mengubah peraturan negara dan cara pandang orang tua.
Perlunya Dukungan Peraturan Pemerintah
Dari sisi peraturan, batas minimal usia menikah di Indonesia untuk perempuan tergolong berbeda dibandingkan negara-negara lain, termasuk yang mayoritas muslim.
Dalam UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, batas minimal usia menikah perempuan dan laki-laki adalah 19 tahun.
Bandingkan dengan UU di Aljazair, Bangladesh, dan Irak yang mematok usia minimal menikah bagi perempuan adalah 18 tahun. Libya bahkan 20 tahun.
Daerah yang merasakan dampak langsung dari kawin anak justru telah lebih dulu mengambil inisiatif.
Misalnya, SE Gubernur NTB yang mendorong usia minimal menikah 21 tahun.
Perda di Gunung Kidul mematok usia minimal perempuan menikah 18 tahun dan Balikpapan 20 tahun.
Di Kebumen Jawa Tengah, bahkan, ada delapan desa yang memiliki peraturan desa yang melarang aparat desa memberikan rekomendasi menikah bagi anak di bawah 18 tahun, kecuali kondisinya sangat memaksa. Hasilnya, peraturan-peraturan itu terbukti efektif menekan angka kawin anak. (Rul)