Mubadalah.id – Seorang perempuan, belakangan diketahui sebagai ibunya, tertangkap kamera dan kemudian viral sedang menurunkan paksa anak perempuannya yang berseragam SD dari mobil keluarga berwarna putih.
Terjadi peristiwa tarik dorong antara ibu dan anak hingga sang anak tersungkur di tepi jalan berbatu. Tapi ia terus menggapai, berupaya memegang ujung pintu mobilnya agar tak ditinggalkan sang ibu.
Selang beberapa waktu peristiwa ini berlangsung, hingga kemudian sang anak diizinkan naik dan mobil pun perlahan beranjak.
Reaksi orang di media seragam: semuanya menduga-duga itu adalah ibu atau secara stereotip, ibu tiri yang berbuat jahat kepada anak perempuan itu. Dan hari ini, sang ibu muncul ke permukaan. Ia menyatakan tak ada niatan menyiksa anak perempuannya disertai permohonan maaf.
Tapi dengan permohonan maaf itu, selesaikan urusan permusuhan ibu dengan anak perempuannya itu? Apalagi sekarang, setelah kelakuannya tertangkap kamera dan menyebar.
Saya membayangkan sang ibu niscaya mendapatkan cemoohan bahkan amarah orang-orang di sekitarnya sebagai ibu yang kejam. Bagaimanakah tekanan ini akan dia uraikan dalam kenyataan hubungannya dan anak perempuannya itu.
Hubungan Timpang
Harus kita pahami, hubungan ibu dan anaknya, bagaimana pun merupakan sebuah hubungan yang timpang. Jarang sekali orang tua yang menempatkan anaknya secara setara dalam makna sang anak mendapatkan hak-hak dan kebebasannya sebagai individu yang punya karsa.
Seperti juga hubungan antara lelaki dan perempuan, atau majikan dan pekerjanya, hubungan ibu dan anakanaknya adalah hubungan yang timpang karena sang anak memiliki ketergantungan penuh kepada sang ibu. Di sini potensi kekerasan lanjutan harus tetap diperhitungkan.
Orang pun bertanya-tanya, mengapa sang ibu bisa begitu “jahat”. Banyak kemungkinan bisa kita hadirkan sebagai cara untuk membaca situasi itu. Salah satu yang cukup masuk akal adalah karena beban yang ditanggung sang ibu niscaya tidak kecil.
Bayangkan, ibu harus memastikan anak-anaknya menjadi juara. Banyak perempuan yang sengaja berhenti bekerja untuk memastikan anaknya bisa mengikuti jenjang-jenjang persaingan dalam kehidupan bahkan sejak TK. Bukan hanya juara kelas.
Ia juga harus menyiapkan anak-anaknya bisa mengerjakan PR, ikut berbagai kursus, mendapat nilai bagus dalam ulangan harian dan semester. Lalu rajin menabung, bisa menjawab pertanyaan di sekolah, bisa menghafal ayat suci dan bacaan ibadah, dan yang penting tidak kalah dari anak tetangga saingan sang orang tua. Semua harus ibu yang menanggung.
Jadi ketika sang anak tak memenuhi salah satu dari harapan orang tua itu, betapa mudah si ibu tersulut kecewa, lalu marah dan sanggup melakukan hal-hal yang di mata orang luar sebagai perbuatan yang kejam.
Dalam kehidupan yang penuh saingan, si ibu harus berpikir keras bagaimana bisa membahagiakan orang di sekelilingnya dengan menyiapkan anak yang sempurna.
Tidak Setara
Jangan lupa si ibu juga berada dalam relasi yang tak selalu setara dengan suaminya atau dengan orang-orang “penindas” di sekitarnya. Dalam situasi serupa itu, anak menjadi harapan yang dapat membantunya mengurai semua gelisah dan tekanan hidupnya. Tapi anak tetaplah anak-anak.
Mereka punya kehendak dan dunianya tersendiri. Ketika agenda sang ibu tak pas dengan kesiapan si anak, tentu hanya kemarahan yang bisa dia lakukan. Ia tak dapat meledakkannya kepada yang lain kecuali kepada orang-orang yang jelas berada dalam kuasanya seperti anak-anaknya. Hubungan ibu dan anak perempuannya adalah hubungan yang terkadang ganjil “best friends, worst enemies”.
Saya tidak hendak membenarkan atau bahkan membela perilaku sang ibu itu. Tapi kita juga harus punya cara bagaimana mengatasinya. Saya percaya itu tak semata bersifat individual melainkan sebagai sebuah sistem yang dapat mudah mengenali polanya.
Kalau mau jujur, bukankah di antara kita juga terkadang sanggup berbuat kasar kepada anak-anak sebagai bentuk pelampiasan amarah atau pengungkapan rasa kecewa? Menurut saya, permohonan maaf adalah satu hal.
Tapi sang ibu perlu mendapatkan bantuan untuk menyalurkan amarahnya secara benar agar ia tak terus berada dalam siklus kekerasan kepada anak atau pihak lain yang berada dalam relasi kuasanya. []