Mubadalah.id – Salingers pernah alami suatu kegagalan atau batal melakukan suatu hal? Pasti yang kita rasakan sedih tak terkira. Bahkan bisa sampai membuat nafsu makan berkurang atau lebih buruk dari itu. Apalagi persoalan yang bersangkutan dengan perasaan atau urusan hati. Misalnya dalam hubungan romantis atau batal menikah.
Banyak kasus bunuh diri disebabkan putus hubungan atau batal menikah. Juga banyak kasus perempuan yang mengalami KDRT bahkan bisa merenggang nyawa hanya karena mempertahankan rumah tangga yang beracun. Sungguh ironis!
Peristiwa tersebut dapat dipicu oleh sebab sudut pandang masyarakat patriarkis yang menganggap bahwa menikah adalah pencapaian tertinggi seseorang, sehingga jika batal menikah termasuk aib atau hal yang memalukan. Begitupun gagal dalam pernikahan alias cerai.
Seseorang yang menganggap pernikahan adalah sebuah pencapaian, ia akan kehilangan arah hidup bahkan nilai atas dirinya jika batal menikah. Padahal, eksistensi atau kesuksesan seseorang tidak sempit ditandai hanya dengan ikatan pernikahan. Banyak hal yang bisa membuat orang bahagia, dan tidak melulu soal pasangan.
Apalagi jika kita sandingkan dengan pasangan yang tidak suportif. Alih-alih hidup bahagia, justru tersiksa dalam tekanan. Banyak contoh kasus di mana seseorang, mayoritas perempuan, harus memendam potensinya pasca menikah. Ia dirumahkan, tidak diberi kesempatan berkarir. Padahal, sekalipun sudah berumah tangga, urusan domestik baiknya kita lakukan bersama. Pun masing-masing individu memiliki hak di ranah publik yang setara.
Menikah bukan Pencapaian Tertinggi
Oleh karenanya, menikah bukanlah mutlak pencapaian tertinggi yang harus kita raih. Karena pemahaman seperti itu justru menggantungkan kebahagiaan pada suatu hal atau orang lain melalui pernikahan. Senyatanya, kebahagiaan justru diri kita sendiri yang menciptakannya. Dengan atau tanpa pasangan dalam status pernikahan.
Saya jadi teringat Kiki Saputri, komika yang dijuluki QORI (Quen of Roasting Indonesia). Ia menapaki dunia stand up comedy berangkat dari pengalaman pahit yang ia jalani yakni batal menikah. Pengalaman batal nikahnya itu ia jadikan materi komedi yang membuatnya sadar bahwa ia tidak sendiri. Alih-alih terpuruk dalam kesedihan, ia justru bangkit menjadi kuat, dan menemukan kembali nilai atas diri yang membuat namanya besar seperti saat ini.
Sedangkan, jika gagal dalam pernikahan alias cerai, seseorang rentan mendapatkan stigma dari statusnya, terlebih ketika sudah resmi menjanda. Banyak perempuan yang mempertimbangkan hal itu hingga membuatnya enggan nmengakhiri hubungan. Apalagi jika selama menikah perempuan tidak mendapat kesempatan untuk bekerja, ia cenderung akan mempertahankan hubungannya sekalipun tidak baik-baik saja untuk alasan ekonomi. Mentolerir KDRT.
Namun, jika masih terperangkap dalam hubungan yang abusif, korban KDRT kemungkinan tidak akan benar-benar selamat. Secara psikis maupun fisiknya. Ia akan dipenuhi perasaan takut, cemas, trauma yang tidak dengan sekejap mata langsung bisa pulih. Bahkan bisa terancam mati karena kekerasan fisik yang ia terima.
Fenomena KDRT
Terlebih, kasus KDRT termasuk tertinggi di Indonesia sepanjang tahun 2021. Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPPA), dari 10.247 total kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terlaporkan, sebanyak 7.608 kasus terjadi di ranah rumah tangga. Lebih dari 50%!
KDRT memang salah satu kasus yang cukup serius. Pasalnya, pelaku KDRT cenderung akan melakukan perbuatan yang sama berulang. Sekalipun bisa kita sembuhkan, perlu proses yang sangat panjang dan pelaku harus betul-betul hadir utuh dan sadar penuh untuk berubah.
Tetapi, itu semua ada di luar kendali kita. Yang bisa kita kontrol ialah pilihan saat mengalami KDRT, atau kasus lainnya yang mengarah pada keputusan mengakhiri hubungan. Bukan hal yang buruk kok, seperti halnya yang Maia Estianti alami. Dia adalah salah satu musisi ternama Indonesia.
Ia dengan sangat berani melaporkan suaminya terkait kasus KDRT dan dengan mantap memilih cerai. Meskipun saat itu ia memiliki 3 anak, tetapi tidak ia jadikan alasan untuk bertahan dalam hubungan beracun atau toksik. Ia juga tetap dapat membesarkan anak-anaknya dengan baik tanpa menghiraukan stigma keluarga broken home.
Dari dua contoh tokoh di atas, pengalaman mereka menggambarkan bahwa batal atau gagalnya seseorang dalam hubungan romantis bukan suatu hal yang buruk. Apalagi akhir dari segalanya. Sebuah kegagalan atau perpisahan bisa jadi justru menyelamatkan kita dari suatu hal yang membahayakan atau kondisi yang bahkan lebih buruk lagi.
Merasakan sedih batal menikah itu wajar pun manusiawi. Yang terpenting tidak berlarut marut dalam kesedihan yang berkepanjangan. Karena itu justru menyakiti diri kita sendiri. Pasti ada buah hikmah pada setiap pohon musibah. Nasihat ini memang klise, tetapi jika kita sungguh-sungguh percaya dan memaknai hal tersebut sebagai bentuk kasih sayang Tuhan, maka kita akan menerimanya dengan lapang. []