Mubadalah.id – Dalam beberapa catatan hadis, Nabi Muhammad Saw pernah menyampaikan bahwa dalam hubungan seksual suami istri. Istri berhak bicara kepada suami. Apabila ia tidak merasa terpuaskan seksual oleh suaminya.
Hak istri atas kepuasan seksual dari suami itu merujuk pada teks hadis yang diriwayat Aun bin Abi Juhaifah. Isi hadis tersebut sebagai berikut :
Dari Aun bin Abi Juhaifah, dari ayahnya yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad Saw mempersaudarakan Salman dengan Abu Darda’.
Suatu hari, Salman berkunjung ke rumah Abu Darda’, lalu ia melihat Ummu Darda’ berpakaian lusuh. “Mengapa demikian, ada apa denganmu?” tanya Salman kepada istri Abu Darda’ itu.
“Saudaramu, Abu Darda’ sama sekali tidak tertarik dengan kenikmatan dunia,” jawab Ummu Darda’
Setelah itu, Abu Darda’ datang, lalu ia membuat makanan untuk Salman. Salman berkata kepada Abu Darda’ “Makanlah.”
“Aku sedang berpuasa,” jawab Abu Darda’
“Aku tidak akan makan hingga engkau makan,” Salman kepada Abu Darda”‘
Lalu, Abu Darda’ ikut makan.
Pada malam hari, Abu Darda’ bangun, lalu Salman berkata, “Teruskanlah tidur.” Maka ia pun tidur, lalu bangun lagi.
Kemudian, Salman berkata, “Teruskanlah tidur.” Maka, Abu Darda’ pun tidur kembali. Pada akhir malam, Salman berkata, “Sekarang, bangunlah.”
Kemudian, mereka shalat malam. Setelah itu, Salman berkata kepada Abu Darda’, “Sesungguhnya, Tuhanmu mempunyai hak atasmu, tubuhmu mempunyai hak atasmu, dan istrimu mempunyai hak atasmu. Maka, penuhilah sesuai dengan haknya masing-masing,”
Kemudian, Abu Darda’ menemui Nabi Muhammad Saw lalu ia menceritakan hal itu. Maka, beliau bersabda, “Perkataan Salman itu benar.” (Shahih al-Bukhari).
Penjelasan Hadis
Menurut Faqihuddin Abdul Kodir, seperti di dalam buku 60 Hadis Shahih, ini adalah kisah persaudaraan yang sangat menyentuh dan mendalam. Persaudaraan yang didasarkan pada keimanan dan nilai hidup.
Karena yang menjadi pembicaraan kita pada konteks ini adalah sesuatu yang disampaikan Salman al-Farisi mengenai hak istri atas kepuasan seksual dari suami.
Pasalnya, hingga saat ini, dalam benak banyak orang, laki-laki dianggap memiliki hak penuh atas kenikmatan seksual dari istrinya. Sementara, sebaliknya tidak. Beberapa orang menganggap hal ini sebagai ajaran agama.
Buntutnya, tidak sedikit suami yang merasa berhak memaksakan kehendak kepada istri ketika sedang berhasrat secara seksual. Jika sudah memperolehnya, ia akan meninggalkan istri begitu saja. Tanpa berpikir bahwa ia pun harus memuaskan hasrat sang istri.
Beberapa yang lain juga meyakini bahwa ibadah, mencari ilmu, dan melayani publik, adalah lebih baik daripada melayani dan memuaskan hasrat istri. []