Ketika mengusulkan kata mubadalah untuk relasi kesalingan dan kerjasama, dalam isu gender maupun sosial secara umum, istilah itu sesungguhnya sudah digunakan sebagai nama perusahaan investasi perminyakan di salah satu negara Teluk Arab. Jika merujuk pada fiqh, mubadalah memang lekat dengan konsep pertukaran dan perdagangan.
Dalam perjalanan diskusi, dialog, dan pengajian, seringkali ada pertanyaan sejauhmana prinsip-prinsip mubadalah bisa digunakan untuk relasi familial yang lebih luas, seperti antara orang tua dan anak, antar saudara, atau relasi antar individu yang berteman, atau relasi sosial yang lebih luas dalam bertetangga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Termasuk pertanyaan mengenai relasi mubadalah dalam bisnis.
Tentu saja, jawabanku selalu positif: bisa. Bahkan jika harus menggunakan ayat ar-Rum (QS. 30: 21), yang secara tekstual soal relasi suami-istri, juga sesungguhnya bisa diambil semangatnya untuk relasi-relasi non-marital tersebut di atas. Hanya satu hal dalam relasi marital yang tidak bisa diaplikasikan dalam relasi non-marital, yaitu layanan fisik-seksual. Sisanya, hampir bisa diaplikasikan semua.
Dalam kelas “Masail Fiqhiyah” bersama mahasiswa Program Hukum Ekonomi Syari’ah, IAIN Syekh Nurjati, ayat ar-Rum ini pernah dibahas bersama untuk menemukan prinsip-prinsip mubadalah dalam transaksi bisnis dan perdagangan.
Bahwa antara penjual dan pembeli, atau antara dua pihak yang bertransaksi bisnis dan perdangangan, pasti ada tujuan bersama untuk sakinah, tenang, nyaman, dan bahagia. Kenyamanan ini tentu saja tidak bisa hanya diperoleh salah satu pihak, sementara pihak lain merasa tidak nyaman. Dengan kata lain, kondisi sakinah ini, harus dialami dan diperoleh kedua belah pihak yang bertransaksi.
Sebagai seorang penjual, dia harus memberikan sesuatu, barang atau jasa, sesuai dengan yang dideskripsikannya dan yang diharapkan pembeli. Begitupun pembeli, dia harus memberikan harga atau nilai kepada penjual, sesuai yang diharapkan penjual. Pembeli menjadi puas dan nyaman dari pemberian penjual, begitupun penjual puas dan nyaman terhadap pembeli.
Kepuasan kedua pihak yang bermitra adalah kondisi sakinah. Basisnya adalah “mawaddah”, yaitu memperoleh kepuasan dan kenyamanan dari mitra, dan “rahmah”, yaitu memberkan kepuasan dan kenyamanan kepada mitra. Ketika masing-masing merasa puas (mawaddah) dan memberkan kepuasan (rahmah), maka terwujudlah sakinah.[]