Mubadalah.id – Pada dasarnya Nabi Muhammad Saw mengetahui bahwa poligami yang dipraktikkan bangsa Arab saat itu banyak merugikan kaum perempuan, namun bukanlah kebiasaan Islam melakukan penghapusan praktik kebudayaan secara revolusioner.
Al-Qur’an tidak pernah menggunakan bahasa provokatif, apalagi radikal. Transformasi Islam selalu bersifat gradual, akomodatif, dan continues.
Al-Qur’an dan Nabi Muhammad saw selalu berupaya memperbaiki keadaan ini secara persuasif dengan mendialogkannya secara intensif.
Tindakan transformasi Islam tersebut tidak semata dilakukan pada isu poligami, melainkan juga pada seluruh praktik kebudayaan yang tidak menghargai manusia.
Karena sesungguhnya, kehendak logis dari sistem kepercayaan Islam (Tauhid) adalah keadilan dan penghargaan terhadap martabat manusia
Dengan pembacaan secara holistik atas teks-teks al-Qur’an, perhatian kitab suci terhadap eksistensi perempuan secara umum dan isu poligami secara khusus, dapat kita lihat dalam rangka reformasi sosial, terutama perbaikan status perempuan.
Al-Qur’an tidak serta-merta turun untuk mengafirmasi perlunya poligami. Pernyataan Islam atas praktik poligami dalam rangka mengeliminasi praktik tersebut selangkah demi selangkah. Sedemikian rupa sehingga keadaan status perempuan menjadi lebih baik.
Cara Al-Qur’an Merespon Poligami
Cara al-Qur’an dalam merespon praktik poligami adalah dengan cara mengurangi jumlah (al-taqlil) dan memberikan catatan-catatan penting secara kritis, transformatif, sekaligus mengarahkan pada penegakan keadilan.
Sebagaimana kita ketahui dari berbagai sumber, sebelum Islam, laki-laki mereka pandang sah saja untuk mengambil istri sebanyak yang ia kehendaki, tanpa batas.
Laki-laki menjadi wajar memperlakukan perempuan sesuka hati. Logika mainstream saat itu memandang poligami dengan jumlah perempuan yang ia kehendaki sesuka hati sebagai sesuatu yang lumrah dan umum, dan bukan perilaku yang salah dari sisi kemanusiaan.
Bagi sebagian komunitas suku, poligami bahkan merupakan kebanggaan tersendiri. Previlage, kehormatan, dan kewibawaan seseorang atau suatu komunitas seringkali kita lihat dari seberapa banyak ia mempunyai istri, budak, atau selir.
Dan perempuan menerima kenyataan itu tanpa bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak berdaya melawan realitas yang sejatinya merugikannya itu.
Boleh jadi, karena keadaan yang lumrah dan mentradisi ini, mereka tidak menganggap ketimpangan ini sebagai hal yang merugikannya, malahan mungkin menguntungkan. Ketidakadilan menjadi tak terpikirkan lagi.
Dalam konteks inilah, al-Qur’an turun untuk mengkritik dan memprotes keadaan tersebut dengan cara meminimalisasi jumlah yang tak terbatas itu menjadi terbatas hanya empat orang istri. Sekaligus menuntut perlakuan yang adil terhadap para istri.*
*Sumber: tulisan KH. Husein Muhammad dalam buku Ijtihad Kyai Husein, Upaya Membangun Keadilan Gender.