Mubadalah.id – Menjadi pemimpin perempuan di Ponpes Kebon Jambu Al Islamy Babakan Cirebon, ternyata membuat Nyai Masriyah Amva jadi lebih sering merenung. Ia mulai mencurahkan pemikirannya itu melalui buku-buku yang Ia tulis, terutama puisi. Pemicu kegairahannya menulis masih tak lepas dari berbagai gagasannya tentang keperempuanan.
Puisi buat Nyai Masriyah tak hanya merupakan pelarian ketika dilanda kegelisahan. Tetapi juga salah satu cara yang bisa mendekatkan diri kepada Tuhan. Menulis puisi baginya tak ubahnya seperti berdoa. Sampai saat ini Nyai Masriyah sedikitnya sudah menerbitkan 20 buku.
“Melalui tulisan, saya memberontak. Saya ingin jadi mulia. Tetapi kan budaya dan lingkungan kita enggak gitu,” ucapnya.
Tuhan, jadikan aku perempuan yang lebih hebat daripada lelaki manapun
Jadikan aku perempuan yang lebih besar daripada laki-laki manapun
Jadikan aku perempuan yang lebih mulia daripada laki-laki manapun
Jadikan aku perempuan yang menjadi lambang-lambang kebesaran
Keteguhan Hati yang Tak Terbantahkan
Begitulah salah satu fragmen puisi milik Nyai Masriyah. Ketika membaca bait-baitnya, orang barangkali akan langsung tersadar, tidak ada keistimewaan dalam utak-atik kata dan bahasanya. Namun, penggalan puisi itu memiliki keteguhan yang tak terbantahkan, penuh kejujuran, dan tanpa tedeng aling-aling.
Permohonan doa yang begitu kuat melalui bait-bait puisi itu, semacam berasal dari pengamatan Nyai Masriyah Amva tentang keterpinggiran kaumnya sendiri. Menurutnya, dunia pesantren dan dakwah di Indonesia masih jauh dari kata ideal dalam konteks pelibatan perempuan.
Padahal, perempuan juga ingin dilibatkan dalam berbagai urusan kehidupan, perjuangan, dan keagamaan. Karena, menurut Nyai Masriyah perempuan juga manusia yang memiliki cita-cita, harapan, ingin bermanfaat dan berguna, ingin berjuang untuk agama dan negaranya.
Para perempuan di dunia keagamaan Islam seringkali justru terkungkung dan dilemahkan oleh doktrin-doktrin budaya dan agama. Dan banyak sekali ulama-ulama yang menurut Nyai Masriyah Amva ingin meredupkan perempuan.
KUPI Episentrum Pemikiran Ulama Perempuan
Salah satu peristiwa yang Nyai Masriyah alami, yaitu ketika ia baru merintis kepemimpinannya di pesantren, ada seorang ulama yang mendatangi dan memarahinya. “Kamu tahu tidak, kamu itu nol besar. Kamu itu tidak ada apa-apanya. Pesantren ini bisa berkembang bukan karena kamu, tetapi karena anak kamu, karena laki-laki,” tutur Nyai Masriyah menirukan ucapan sang ulama itu.
Meski demikian, situasi saat ini jauh lebih baik daripada masa-masa sebelumnya. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) misalnya mulai melibatkan perempuan untuk masuk ke dalam jajaran pengurus. Belakangan juga telah terbentuk Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang menjadi episentrum pemikiran dan wacana para ulama perempuan.
KUPI membuat geliat yang makin luar biasa, dan membuka mata perempuan. Meski beberapa ulama menganggap itu sebagai musibah besar. Upayanya untuk mengajarkan kesetaraan gender dan keberagaman di lingkungan pesantren serta masyarakat sekitar membuatnya meraih dua penghargaan.
Dua di antaranya Albiruni Award (2012) sebagai tokoh yang sukses mengembangkan dakwah melalui seni dan budaya, serta SK Trimurti Award (2014) sebagai tokoh gender dan pluralis. (Zahra)
*)Artikel ini merupakan ringkasan dari Majalah Gatra, edisi Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) 2 dengan tema “Perempuan, Agama dan Ulama”.