Mubadalah.id – Problem akut yang dihadapi umat manusia sepanjang peradabannya, terutama pada saat sekarang ini adalah cara pandang bahwa manusia itu poros alam semesta.
Cara pandang yang meyakini bahwa yang utama dalam kehidupan semesta ini adalah manusia. Sementara yang lain harus tunduk atau ditundukkan untuk kepentingan dirinya.
Cara pandang ini tidak hanya membuat manusia menjadi rakus dan destruktif terhadap alam, tetapi juga berimbas ke relasi sesama mereka. Bahkan, Tuhan yang mereka sembah pun dieksploitasi sedemikian rupa.
Dengan menamakan diri sebagai tentara Tuhan, seseorang merasa absah untuk menghancurkan apa pun dan siapa pun yang dianggapnya melawan Tuhan yang diyakininya. Pada akhirnya, dialah yang utama, bukan Tuhan yang disembahnya.
Islam hadir untuk mengingatkan manusia dari sifat destruktif ini. Manusia adalah makhluk Allah Swt. Mereka Allah Swt ciptakan dan merupakan bagian dari semesta.
Sebagai bagian, tentu saja, cara pandang yang harus tertanam adalah keseimbangan, kesalingan, dan kerja sama. Baik dalam relasi antara manusia, maupun relasi manusia dengan semesta.
Visi besar Islam, karena itu, adalah rahmatan lil ‘alamin (QS. al-An’am (6): 154 dan 157, al-A’raf (7): 52, 203. Yunus (10): 57: al-Isra’ (17): 82: al-Anbiya’ (21): 107. an-Naml (27): 77. Luqman (31): 3 dan ad-Dukhan (44): 1-6). Yaitu menebar dan mewujudkan kehidupan yang penuh kasih sayang kepada segenap semesta.
Manusia adalah bagian dari semesta ini, bukan satu-satunya. Nabi Muhammad SAW juga menegaskannya dengan ajaran akhlak karimah, di mana substansinya adalah berelasi dengan yang lain secara baik, bermartabat, adil, dan maslahat (Shahih Bukhari, Hadits nomor 3909)
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ
Artinya: “Dan Kami tidak mengutus engkau (wahai Muhammad), kecuali (untuk atau sebagai) rahmat bagi semesta alam.” (QS. al-Anbiya’ (21): 107).
Visi KUPI
Visi rahmatan lil ‘alamin dan misi akhlak karimah ini, menurut KUPI, adalah spirit yang al-Qur’an dan Hadits untuk bawa menjadi panduan hidup umat manusia.
Kita bisa belajar dari generasi awal Islam, para sahabat, dan ulama as-salaf ash-shalih, bagaimana spirit ini mereka hadirkan dalam konteks kehidupan mereka masing-masing.
Pembelajaran ini bisa kita temukan dari warisan khazanah peradaban Islam, baik tafsir, fiqh, tasawuf, maupun filsafat, dan ilmu-ilmu turunannya.
Sebagaimana Nabi Muhammad SAW juga belajar dan menyerap dari norma dan ikatan kesepakatan dengan masyarakat sekitar. Karena ada spirit ini, kita juga harus menghormati ikatan kebangsaan yang kita miliki dan kesepakatan global yang mengandung spirit yang sama dari Islam ini. []