Dalam fiqh, prinsip relasi antara suami dan istri adalah suami diwajibkan berbuat baik kepada istri, begitupun istri diwajibkan berbuat baik kepada suami. Relasi ini harus yang menguatkan dan membuat kebaikan pada keduanya. Bukan relasi yang dominatif baik karena status sosial, sumber daya, ataupun hanya jenis kelamin saja.
Akan tetapi, dalam masalah seks misalnya, fiqh lebih menekankan istrilah yang harus memberikan pelayanan kepada suami. Karena diyakini bahwa suamilah yang mempunyai kebutuhan akan itu. Sebagai gantinya, suami dituntut untuk mencari nafkah untuk istri.
Pandangan lama ini tidak mutlak karena kebutuhan seksual bukan hanya milik laki-laki. Karena perempuan juga mempunyai kebutuhan yang sama, hanya saja mungkin ekspresi antara laki-laki dan perempuan berbeda.
Al-Qur’an surat al-Baqarah [2]: 187 dengan jelas menggambarkan relasi antara suami dan istri dalam masalah seks mengandung prinsip kesalingan, tidak berat sebelah. Disebutkan bahwa suami adalah pakaian istri dan istri adalah pakaian suami (hunna libaasun lakum wa antum libaasun lahum).
Ini bisa diartikan bahwa suami dan istri sama-sama berhak mendapatkan dan memperoleh kehangatan. Tidak ada yang lebih berhak untuk dilayani. Tidak ada pula yang lebih berhak untuk mendapatkan kebahagiaan dibanding yang lain. Keduanya sama-sama mempunyai hak dan kewajiban untuk mendapatkan kenikmatan dan melayani pasangannya.
Perbedaan hormonal dan karakter antara laki-laki dan perempuan harus dijembatani dengan strategi komunikasi yang baik. Laki-laki yang karena fungsi biologis dan hormonalnya lebih banyak mengambil inisiatif dalam hubungan seks harus memahami kebutuhan dan karakter perempuan. Ini tidak berlaku bagi semua laki-laki dan perempuan, tapi pada prinsipnya masing-masing harus saling memahami.
Nabi Muhammad Saw. sendiri sebagaimana yang disampaikan Jabir bin Abdillah, menggunakan kata yang bermakna timbal balik, al-mula’abah untuk foreplay dan kata al-mudhaahakah untuk aktiviitas yang menggembirakan suami dan istri (Shahih Bukhari no. 3003; Shahih Muslim no. 3715 dan 4184; dan Musnad Ahmad no 15244).
Ada sebuah hadits:
Abu Hurairah Ra. menyatakan bahwa Rasulallah Saw. Bersabda, “Apabila seorang suami mengajka istrinya baik-baik untuk naik ranjang (berhubungan intim), lalu ia menolak (tanpa alasan), kemudian suaminya marah sepanjang malam, maka malaikat melaknatnya sampai pagi.” (Shahih Bukhari no. 3273)
Hadits “malaikat melaknat sampai pagi” di atas tidak boleh dimaknai secara tekstual. Teks ini harus kita baca secara mubadalah, yakni perempuan juga bisa menjadi subjek utama dalam pesan hadits tersebut. Sehingga antara suami dan istri bisa saling menikmati hubungan seks tanpa ada yang melakukan pemaksaan atau kekerasan.
Di balik keinginannya yang menggebu karena dorongan hormonal, seorang suami harus pandai dan cerdik “mengajak” istrinya. Cara-cara suami yang memerintah dan memaksa tidak akan berhasil. Justru sebaliknya suami harus pandai-pandai mencerna karakter perempuan, di antaranya dengan rayuan, kalimat-kalimat manis dan jenaka, ataupun hadiah kecil yang menggembirakan.
Sebaliknya, perempuan pun tidak boleh dipersalahkan jika pada suatu waktu mengambil inisiatif atau lebih menginginkan hubungan seks dibanding suaminya. Intinya, hubungan seks suami istri perlu “dimusyawarahkan” agar menemukan titik temu yang sama-sama baik menurut suami dan istri.
Titik temu yang baik ini tentunya akan beraneka ragam, tidak tunggal, tergantung pada karakter personal pasangannya dan banyak hal lainnya. Yang penting, nir-kekerasan. Karena Islam menghendaki suami berbuat baik kepada istri, begitupun istri berbuat baik kepada suami.[]