Mubadalah.id – Saat Nyai Khairiyah Hasyim berusia 27 tahun, sang suami Kiai Ma’sum meninggal dunia. Nyai Khairiyah lantas melanjutkan Pesantren Seblak, Jombang yang ditinggalkan suaminya itu.
Ini merupakan kali pertama seorang perempuan menjadi pemimpin pesantren yang muridnya laki-laki. Penguasaan Khairiyah terhadap kitab klasik amatlah luar biasa. Alhasil, ia begitu dihormati. KH. Yusuf Hasyim, adiknya, bahkan memberi gelar “kiai putri” kepada Khairiyah.
Setelah lima tahun memimpin Pesantren Seblak, bersama suami keduanya, KH. Muhaimin, pada 1938, Khairiyah berangkat ke Makkah. Keberangkatan mereka ke kota suci ini semula dalam rangka menunaikan ibadah haji.
Namun, kesempatan tinggal di Tanah Haram itu juga mereka manfaatkan untuk belajar dan mengaji kepada para ulama. Bahkan, KH. Muhaimin adalah salah satu ulama Jawa yang turut mendirikan dan mengajar di Madrasah Darul Ulum. Madrasah ini dibuka untuk mengakomodasi orang Jawa yang bermukim atau mondok di Makkah.
Pada 1942, Madrasah Darul Ulum membuka kelas untuk perempuan yang kemudian ia beri nama Madrasah Banat atau sekolah untuk perempuan.
Menurut anak angkat Khairiyah, Muhsin Zuhdi, madrasah untuk perempuan ini didirikan bukan hanya karena makin banyaknya perempuan yang pergi berhaji dari Hindia Belanda.
Hingga menambah jumlah mukimmin perempuan di Makkah. Melainkan juga lantaran keadaan perempuan di kota itu yang sedemikian memprihatinkan. Hak mereka untuk belajar seakan tertutup.
KH. Muhaimin kemudian meninggal dunia. Pada 1952, Nyai Khairiyah pulang kembali ke Tanah Air, meninggalkan Tanah Suci setelah hampir dua dekade memperjuangkan pendidikan bagi perempuan di Makkah.
Nyai Khairiyah kembali untuk memimpin Pesantren Seblak di Jombang. Ia berhasil memimpin Pesantren Seblak secara baik. Hal ini tentunya tidak lepas dari pengalamannya yang kaya selama bermukim di kota kelahiran Nabi Muhammad Saw., Makkah. []