• Login
  • Register
Jumat, 6 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Aktual

DALIL DIAN ROSE

Faqih Abdul Kodir Faqih Abdul Kodir
25/08/2017
in Aktual
0
Gambar Ilustrasi

Gambar Ilustrasi

508
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Kisah poligami diam-diam seorang artis religi sedang viral. Curhat istrinya yang merasa dijebak dan dikhianati juga sedang jadi pembicaraan. Menariknya sang istri menghadirkan argumentasi agama sebagai pegangan. Publik penasaran. Benarkah dalil-dalil itu?. Kolegaku nuntut: tulis dong!!!. Setelah tiga hari berita berlalu, publik sudah sedikit tenang, dan aku juga bisa curi-curi waktu membaca dan menulis, sekarang aku coba tuangkan interpretasi dan elaborasiku terhadap Dalil Dian Rose, sang istri. Sebagaimana yang aku baca dari berbagai media sosial.

Benarkah poligami diam-diam adalah haram?

Dian memandang poligami yang disembunyikan, tanpa dibicarakan terbuka dengan istri, adalah pelanggaran “rules” atau aturan Islam. Apalagi diikuti dengan jebakan. Lalu paksaan kepada istri untuk menerima dengan dalih keimanan.

Dalam Fiqh Indonesia, dan hampir seluruh negara Muslim saat ini, poligami dipandang sebagai pernikahan beresiko dan bermasalah. Karena itu perlu diatur dan diperketat agar tidak menimbulkan banyak resiko. Faktanya, poligami selalu mendatangkan persoalan, bahkan kekerasan. Terutama bagi anak-anak dan perempuan. Salah satu cara memperketatnya adalah dengan mensyaratkan izin istri. Demikian ijtihadnya.

Sesuatu yang potensial mendatangkan kekerasan harus diperketat, bahkan bisa dilarang menurut kaidah sadd dzarai, sebagaimana disarankan Syekh Muhammad Abduh. Dan jika izin istri menjadi satu-satunya cara mengendalikan poligami agar tidak mudarat dan berkubang kekerasan, maka ia juga menjadi wajib. Dalam fiqh, suatu yang wajib (menjauhkan mudarat) jika tidak bisa tanpa perantara yang lain, maka perantara itu juga menjadi wajib (ma la yatimm al-wajib illa bihi fahuwa wajib).

Izin istri, dipandang fiqh Indonesia, sebagai media agar pihak yang berpotensi jadi korban benar-benar memiliki kesiapan mental. Begitupun suami yang akan poliglami memiliki kesiapan material untuk berbuat adil, dengan dibuktikan “kerelaan” dari sang istri. Loh kok izin istri kan pasti sulit? Nah, di sinilah letak hikmahnya: agar suami kembali berkomunikasi, dan bekerja keras mencari kerelaan sang istri.

Baca Juga:

Menggugat Poligami, Menegakkan Monogami

Film Bida’ah: Ketika Perempuan Terjebak Dalam Dogmatisme Agama

Al-Qur’an Melarang Pernikahan Poligami

Film Bida’ah: Menelanjangi Realita Poligami di Balik Jubah Religiusitas

Izin istri, tentu saja tidak boleh dilakukan dengan berbohong dan manipulasi. Kedua hal ini haram hukumnya dalam Islam. Menjebak dan memaksa juga sama sekali bukan perilaku yang baik dalam Islam. Di sinilah persoalannya, mengapa poligami diperketat, karena akan melahirkan berbagai perilaku hipokrit, menipu, berbohong, memaksa, dan menjebak, yang semua perilaku ini adalah haram. Sesuatu yang akan mengantarkan pada yang haram, tentulah, minimal diperketat. Dus, izin istri adalah media agar suami tidak terjebak pada perilaku-perilaku tidak mulia ini.

Bukankah menerima poligami bagian dari keimanan?

Tidak, kata Dian. Apalagi jika dengan cara dijebak. Istri dipaksa beriman, sementara suami sendiri tidak beriman dengan aturan Islam. “Aku disuruh beriman dengan menerima poligami, sementara dia tidak diminta beriman dengan aturan Islam dalam berkeluarga”, gugat Dian. Aturan Islam yang utama justru perilaku baik, menghadirkan kebaikan, dan menjauhkan keburukan dari keluarga. Ini adalah prinsip, sementara poligami bukan bagian dari prinsip Islam.

Pilar pernikahan dan berkeluarga dalam Islam, sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an ada empat. Pertama, pernikahan adalah suatu ikatan kuat (mitsaqan ghalidzan, an-Nisa/ 4: 21) yang harus dijaga bersama. Kedua, pernikahan adalah berpasangan (zawaj, al-Baqarah/ 2: 187) dimana yang satu terhadap yang lain harus berpikir kesalingan dalam segala hal. Ketiga, berpasangan harus berperilaku saling berbuat baik (mu’asyarah bil ma’ruf, an-Nisa/ 4: 19) dalam segala aspek keluarga. Keempat, satu sama lain harus selalu berembug dan musyawarah (tashawurin wa taradhin) untuk mencari yang terbaik bagi keluarga (al-Baqarah, 2: 233).

Poligami jauh dari keempat pilar ini. Sehingga suami, dibanding berpikir poligami, sebaiknya memperbaiki relasi, komunikasi, dan perilaku. Istri juga punya kewajiban yang sama untuk menghadirkan segala kebaikan dalam hal relasi, komunikasi dan perilaku.

Bukankah poligami lebih baik dari zina?

Tidak. Dalam pandangan Dian, dan dalam kasus suaminya, poligami dilakukan justru setelah ada pendekatan-pendekatan yang mengarah bersama. Bertemu, berduaan, dan mungkin bermesraan. Semua ini justru yang bisa mengantar pada zina. Mendekati zina, kata al-Qur’an adalah haram. Sesuatu yang dihasilkan dari yang dilarang, harusnya juga tidak baik.

Poligami dalam kasus Dian adalah buah dari yang sesuatu yang dilarang dalam Islam. Yaitu perilaku mendekati zina. Jadi, setidaknya, poligami suaminya bukanlah sesuatu yang terpuji dan jauh dari kata mulia. Sehingga tidak bisa dibandingkan dengan zina, dan tidak bisa dianggap lebih baik dari zina. Sama sekali tidak.

Bolehkah memilih cerai daripada dipoligami?

Dian sepertinya tegas memilih gugat cerai. Daripada hidup dalam kesakitan dan kesusahan. Apalagi dalam pandangannya, semua itu melanggar atuaran-aturan Islam. Dalam hal ini, banyak orang hanya hafal tentang “perceraian yang dibenci Tuhan”. Atau, nasihat-nasihat Islam kepada perempuan agar bersabar dan menerima poligami daripada bercerai. Sesungguhnya ada ayat al-Qur’an yang justru persis memberikan pilihan kepada perempuan, seperti Dian, dalam kasus poligami, untuk bercerai atau berpisah.

Surat an-Nisa, ayat 128-130, adalah ayat yang berbicara mengenai nusyuz suami, yang tidak lagi memegang komitmen bekeluarga, sudah mulai berpaling dari istri, dan sudah mencoba memiliki relasi dengan perempuan di luar istri di rumah. Al-Qur’an memberi nasihat untuk memperbaiki (ishlah) dan menjaga diri (taqwa). Bahkan mewanati-wanti suami untuk tidak poligami karena cenderung tidak adil. Lalu ditutup dengan pilihan bercerai. Kata al-Qur’an, bisa jadi, untuk kasus ini, perceraian justru akan membuat mereka berdua lebih lapang dan kaya. Bukalah dan bacalah ayat-ayat itu.

Bagaimana dengan ulama yang justru menikahkan akad poligami?

Inilah yang disayangkan Dian, ustadz yang dikenalnya dengan baik, tahu bagaimana ia sudah membina rumah tangga dari nol, dari tidak punya, tanpa harta, lalu susah bersama, merangkak bersama, berjuang bersama, sekarang sudah memiliki 6 anak, justru sang ustadz mendukung laki-laki menghancurkan keluarga yang sudah dibinanya selama 14 tahun.

Dimanakah adab Islam itu? Dian menggugat. Katanya: kita-kita para perempuan disuruh mencintai Allah, lah para laki-laki justru diumbar untuk mencintai banyak perempuan. Kita-kita disuruh tidak melekat pada dunia, lah para laki-laki justru semakin melekat pada dunia, yaitu perempuan-perempuan. Dimana tanggung-jawab laki-laki pada keluarga? Anehnya ini semua direstui seorang ustadz dan ulama. Lah, ulamaku siapa?

Izinkan aku menajwab: ulama kamu adalah Nabi Muhammad Saw, yang ketika baginda menerima aduan dan keluhan dari Fathimah, sang putri, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib ra, baginda bergegas naik mimbar dan berseru:

“Orang-orang Bani Hisyam meminta izin untuk menikahkan putri mereka dengan Ali, suami putriku, dengarkan: Tidak aku izinkan, tidak aku izinkan, tidak aku izinkan. Kecuali kalau dia menceraikan dulu putrku, lalu silahkan menikah dengan putri mereka. Fathimah adalah darah dagingku, apa yang meresahkannya, meresahkanku. Apa yang menyakitinya, juga menyakitiku”. (Sahih Bukhari, no. Hadis: 5285).

Dus, wahai Dian, dan para perempuan yang mungkin mengalami nasib yang sama, tenanglah, sikapmu tidaklah melanggar Islam, pilihanmu juga sudah digariskan al-Qur’an, kritik dan gugatanmu juga mirip dengan Fathima ra sang teladan, dan terakhir ulamamu –jika kamu masih juga ingin mencari- adalah Nabi Muhammad Saw, sang Rasul junjungan. Shalluu alaih……

Solo Baru, 24.08.2017 (07.38)

Tags: Dalil Dian RosepoligamiPoligami Dian RosePoligami OpikStop Poligami
Faqih Abdul Kodir

Faqih Abdul Kodir

Founder Mubadalah.id dan Ketua LP2M UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Terkait Posts

Kebangkitan Ulama Perempuan

Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

19 Mei 2025
Rieke Kebangkitan Ulama Perempuan

Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

19 Mei 2025
Mendokumentasikan Peran Ulama Perempuan

KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

19 Mei 2025
Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

Alasan KUPI Jadikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

19 Mei 2025
Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan

KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

18 Mei 2025
Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia: Bersama Ulama dan Guru Perempuan, Bangkitlah Bangsa!

16 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Berkurban

    Berkurban: Latihan Kenosis Menuju Diri yang Lapang

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 3 Solusi Ramah Lingkungan untuk Pembagian Daging Kurban

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingnya Narasi Hajar dalam Spiritualitas Iduladha

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tambang Nikel Ancam Kelestarian Alam Raja Ampat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Iduladha sebagai Refleksi Gender: Kritik Asma Barlas atas Ketaatan Absolut

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • 3 Solusi Ramah Lingkungan untuk Pembagian Daging Kurban
  • Pentingnya Narasi Hajar dalam Spiritualitas Iduladha
  • Berkurban: Latihan Kenosis Menuju Diri yang Lapang
  • Makna Wuquf di Arafah
  • Iduladha sebagai Refleksi Gender: Kritik Asma Barlas atas Ketaatan Absolut

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID