Mubadalah.id– “Sejak saya mengirim foto ke pacar saya lewat media sosial, setiap hari saya menangis dan menyesal”, demikian curhat penyintas KBGO pada suatu hari.
Salingers, kekerasan berbasis gender online (KBGO) bisa menimpa siapapun, laki-laki dan perempuan, mulai dari usia anak, remaja, sampai dewasa. Kekerasan-kekerasan apapun bentuknya, termasuk KBGO, tentunya sangat berdampak bagi korban, baik secara psikis (kecemasan, depresi, sampai trauma yang berkelanjutan), sosial, maupun ekonomi.
Waspada KBGO harus kita kenalkan kepada anak sejak dini, minimal mengenalkan bagian-bagian tubuh yang privasi, dan tidak boleh dilihat bahkan disentuh orang lain. Selain itu, penting juga mengenalkan etika digital pada anak. Hal ini sebagai bekal dasar bagi anak agar terhindar dari kekerasan berbasis gender online.
Trauma Penyintas KBGO
Pengalaman kurang menyenangkan dialami oleh Fatin (nama samaran), seorang remaja perempuan yang masih berusia 15 tahun. Sambil menangis, dia bercerita bahwa pacarnya pernah memintanya mengirim foto bagian atas tubuhnya tanpa baju. Sang pacar meyakinkannya bahwa foto itu hanya untuk dirinya dan tidak disebarluaskan. Dengan rayuan dan janji manis sang pacar, akhirnya Fatin mengirimkan foto sebagaimana permintaan tersebut.
Namun sejak saat itu, penyesalan dan ketakutan selalu membayangi Fatin. Dia selalu merasa takut jika fotonya tersebar dan sampai kepada keluarganya. Ketidaktenangan itu membuat Fatin menutup diri dan mengurangi interaksi dengan teman-temannya, sambil berharap foto itu hanya disimpan oleh pacarnya, atau bahkan dihapus.
Beberapa waktu kemudian, ketakutannya terbukti. Setelah dia putus dengan pacarnya, foto Fatin tersebar ke teman-temannya. Walaupun foto itu hanya setengah badan tanpa memperlihatkan wajah, tapi caption namanya tertulis di foto.
Saat bercerita, Fatin tak henti menangis. Fatin tidak tahu pasti siapa yang menyebarkan fotonya. Namun tersebarnya foto itu membuatnya mengalami stres dan kecemasan yang berlebihan. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana sikap orang tuanya jika sampai mengetahui perbuatannya.
Darurat KBGO di Sekitar Kita
Peristiwa yang menimpa Fatin di atas tentunya hanya satu kasus dari sekian kasus yang ada. Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2022, kekerasan berbasis gender online (KBGO) menempati posisi tertinggi dalam pengaduan ke Komnas Perempuan, mencakup 69 persen dari total kasus.
Ada Banyak macam KBGO yang mengintai korban, terutama perempuan, di antaranya cyber grooming (manipulasi dengan membangun kepercayaan), cyber hacking (peretasan), cyber harassment (ancaman pemerkosaan), cyber flashing (tindakan mengirim atau merekam gambar atau tindakan seks tanpa persetujuan).
Ada juga impersonating (meniru identitas), morphing (media buatan), Non Consensual Intimate Image (menyebarkan konten intim untuk mengintimidasi korban), sextortion (pemerasan seksual), dan lain-lain.
Kejadian yang menimpa Fatin masuk dalam kategori Non Consensual Intimate Image, penyebaran foto intim tanpa izin. Korban mengambil foto sendiri dan mengirimkannya ke pacarnya. Namun, penyebarannya tidak berdasarkan persetujuan korban.
Hanya saja, dalam kasus ini, Fatin tidak mengetahui siapa yang telah menyebarkan foto tersebut. Bisa jadi foto tersebut disebarkan oleh mantan pacarnya atau orang lain yang mendapat foto itu dari mantan pacarnya.
KBGO Bukan Hal Sepele
Beberapa waktu lalu, saya sempat membaca kisah penyintas KBGO di akun instagram perempuan berkisah. Akun tersebut menceritakan ada seorang perempuan yang ketika meminta putus dari pacarnya, ia mendapatkan makian dan ancaman.
Si pacar kemudian melakukan morphing dengan mengubah video call si perempuan seolah sedang video call sex dengan pria yang bermasturbasi. Selain itu, si pacar juga menyebarkan informasi yang tidak pantas dan berisi fitnah.
Kekerasan berbasis gender online tentunya bukan hal sepele. Di era yang serba digital, kecepatan informasi seolah mengalahkan kecepatan cahaya matahari ke bumi. Dalam dua kasus di atas, nama baik korban menjadi taruhan. Belum lagi korban harus menanggung dampak psikis berkepanjangan yang membuat hidupnya tidak tenang.
Kita tidak sedang berbicara mengenai kesalahan korban (dalam kasus Fatin) yang berani mengirim foto vulgarnya kepada orang lain. Saya kira, hal ini menjadi satu pembelajaran berarti untuknya agar selanjutnya lebih berhati-hati. Kurangnya pengetahuan mengenai pendidikan seksual menjadi catatan penting dalam kasusnya.
Apa yang Bisa Kita Lakukan agar Terhindar dari Kekerasan Berbasis Gender Online?
Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk mencegah terjadinya KBGO di sekitar kita, pertama, memahami betul bagian-bagian tubuh yang sifatnya privasi, yang tidak boleh menjadi konsumsi orang lain. Dalam hal ini, kita bisa mengenalkan pendidikan seksual pada anak didik, teman, dan anggota keluarga kita sejak usia anak dan remaja.
Selanjutnya, kita harus mengenali berbagai bentuk KBGO, dampak, dan bahayanya agar kita menjadi lebih waspada. Kita juga bisa mengedukasi masyarakat sekitar tentang hal-hal ini.
Upaya membatasi diri ketika membagikan data pribadi di media sosial menjadi sebuah keharusan, agar pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab tidak memanfaatkannya di luar kendali kita
Terkait hal ini, posisi literasi digital menjadi sangat penting untuk anak dan remaja sebagai bekal mereka dalam bermain media sosial. []