“Kau tahu, apakah profesi tertua di dunia ini?
Pelacur
Tanpa kami, bahkan surga pun tak akan lengkap”
Mubadalah.id – Gangubai Kathiawadi, rilis tahun 2022, adalah film besutan Sanjay Leela Bhansali yang mengadaptasi naskah dari buku Mafia Queens of Mumbai oleh S. Hussain Zaidi. Kisah ini berdasarkan biografi seorang tokoh aktivis perempuan, Gangubai Harjeevandas yang mengadvokasi pelegalan prostitusi dan hak pekerja seks di India pada tahun 60-an.
Film berkutat pada tokoh utama Gangubai, seorang penguasa daerah rumah bordil di Kamathipura, Mumbai. Memiliki nama asli Ganga Harjivandas, sosok Gangubai bermula dari kisah remaja perempuan berusia enam belas tahun yang memiliki cita-cita pergi ke Mumbai untuk menjadi aktris.
Atas bujukan kekasihnya, Ganga diam-diam pergi dari rumah orang tuanya untuk mengejar mimpi, hingga akhirnya tertipu seorang germo di rumah bordil Kamathipura. Lika-liku gelap pelacuran mengubah sosok Ganga yang naif menjadi api yang tak pernah padam untuk memperjuangkan hak hidup perempuan pekerja seks.
Para Korban Keserakahan
Leela Bhansali mengajak kita untuk melihat lebih dalam kehidupan rumah bordil dan para pekerjanya. Korban eksploitasi seksual dalam lingkup pekerja seks komersial tidak melulu datang dari latar belakang marjinal. Dalam kisahnya Ganga berasal dari keluarga bermartabat, dengan latar belakang sang Ayah yang merupakan seorang pengacara lokal.
Kepolosan dan ambisi Ganga dimanfaatkan oleh Ramnik, kekasihnya sendiri hingga terjebak dalam dunia pelacuran. Laki-laki itu menjual Ganga kepada Bibi Sheela, seorang germo yang membelinya seharga seribu rupee.
Terlepas dari stigma pekerja seks yang erat dengan isu marginalisasi ekonomi dan pendidikan, perempuan dengan latar belakang apapun rentan menjadi korban kejahatan perdagangan dan eksploitasi seksual. Dalam konstruksi sosial masyarakat yang mencerminkan ketidaksetaraan gender, terdapat pandangan bahwa perempuan adalah objek yang dapat ditukar dengan kekayaan.
Kisah Ganga menjadi potret kerentanan perempuan sebagai korban perdagangan manusia. Para gadis muda ini tidak memiliki opsi untuk berputar balik begitu mereka menginjakkan kaki di Kamathipura. Cap moralitas sebagai pelacur merampas tubuh mereka dari keluarga maupun kehidupan luar.
Lantas, Ganga pun harus melepas kehidupan lamanya. Dengan api yang menyala, ia membakar persona gadis naif dan sepenuhnya menantang nasib sebagai pelacur Kamathipura. Kini Ganga telah bertransformasi menjadi Gangu, sebuah panggilan baru bagi pelanggan pertamanya.
Gadis itu harus berdiri melampaui hari-harinya di rumah bordil: memuaskan pelanggan, menjadi mesin pencetak uang Bibi Sheela. Berharga dua hinga tiga kali lipat tarif biasa, Gangu terpaksa melayani berbagai macam lelaki dalam waktu dan keadaan apapun.
Membicarakan Pembebasan Perempuan dan Keragaman Gender
Para perempuan Kamathipura dibuang dan dikucilkan secara sistemik oleh masyarakat. Pekerja seks terkecualikan dari tatanan sosial, segala kebebasan atas otoritas tubuh, hak kemanusiaan, kesehatan, serta pendidikan. Hal ini melahirkan solidaritas dan persaudaraan yang kuat di antara mereka.
Dalam filmnya, Leela memotret perjuangan pembebasan perempuan. Di mana persahabatan perempuan tergambar sebagai sebatang akar kokoh yang seringkali menjelma menjadi ancaman bagi konstruksi patriarki. Melewati pergulatan yang kejam dalam bisnis prostitusi, perempuan Kamathipura memiliki sistem sosial mereka sendiri.
Solidaritas perempuan lahir atas stigma yang tersematkan, menantang perlakuan tidak adil yang erat dengan lingkungan mereka.
Gangubai sebagai sosok perwakilan yang berdiri membela hak ribuan perempuan pekerja seks merupakan perwujudan kekuatan ikatan sosial mereka. Dalam kisahnya, Gangubai acap kali merelakan kesenangan pribadi dan menantang risiko untuk kelangsungan hidup para perempuan Kamathipura.
“Siapapun yang datang ke pintu rumah bordil, tidak akan dihakimi. Itu prinsip kami. Siapapun tak akan bertanya agama atau kastamu. Kulit hitam atau kulit putih, kaya atau miskin, semuanya membayar harga yang sama. Ketika kami tak membeda-bedakan siapapun, kenapa kalian mendiskriminasi kami? Kenapa kami terkecualikan dari masyarakat?”
Kamathipura terbuka bagi siapa saja: mafia yang meraup pundi-pundi, politisi yang mencari suara dan kuasa, anak-anak yang terbuang, sampai bayi yang lahir dari pelacuran. Kamathipura menjadi tempat bagi mereka yang terbuang. Film ini pun merangkum keragaman gender, dengan representasi Raziabai—sosok lawan politik Gangubai pada pemilu Kamathipura. Lingkungan pelacuran ini yang justru menjadi tempat terbuka atas keragaman manusia.
Pekerja Seks dan Moralitas Kudus yang Kudis
“Di mata politisi, kami suara bagi mereka. Di mata aparat, kami adalah sumber uang. Bagi lelaki, kami selimut di musim dingin. Dan bagi perempuan, kalian semua tahu siapa kami… Kami memuaskan nafsu para lelaki dan melindungi martabat perempuan”
Relasi kuasa membelenggu para perempuan pekerja seks. Di mana selama bertahun-tahun, ribuan perempuan Kamathipura menjadi sasaran empuk bagi mafia dan aparat yang mengendalikan sirkulasi bisnis prostitusi. Memperjuangkan hak para perempuan tersebut, Gangubai harus menghadapi tantangan yang berat saat sebuah sekolah agamis menuntut penutupan prostitusi dan pengusiran seluruh pekerja seks di Kamathipura.
Keberadaan perempuan pekerja seks Kamathipura terekam sebagai pengaruh buruk bagi lingkungan sosial para murid sekolah perempuan yang berdiri di dekat rumah bordil itu. Sebuah ironi terjadi ketika institusi agamis tersebut justru merampas hak pendidikan anak-anak perempuan Kamathipura.
Hak ribuan pekerja serta anak-anak yang hanya dapat hidup dari Kamathipura lantas menjadi kabur ketika berhadapan dengan institusi yang menjunjung agama dan moralitas. Beberapa detail tersebut tersaji melalui perjuangan politik Gangubai.
Ketika langkah advokasi mulai menarik simpati dan bantuan dari luar Kamathipura, tergambarkan sosok-sosok moralis semakin mengkerdilkan martabat kemanusiaan para perempuan Kamathipura.
“Lantas mengapa hanya pekerjaan kami yang dianggap imoral? Lelaki dari rumahmu datang ke tempat kami. Kau tahu apakah pekerjaan tertua di dunia ini? Pelacur. Bahkan tanpa kami surga pun tak akan lengkap. Kalian juga harus menghormati kami, bukan begitu?”
“—Apapun yang kau pikirkan, prostitusi akan terus hidup selama peradaban manusia masih bertahan.” []