• Login
  • Register
Sabtu, 5 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Mengkritisi Ulama, Suul Adab Kah?

Jadi, sebenarnya boleh ngga sih kita mengkritisi ulama? Apakah tidak kualat nantinya? Kira-kira begitu yang muncul di benak saya.

Muhammad Nasruddin Muhammad Nasruddin
02/02/2024
in Personal, Rekomendasi
0
mengkritisi ulama

mengkritisi ulama

1.2k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Sebenarnya saya agak ragu untuk menuliskan topik ini. Akan tetapi rasanya pikiran-pikiran tentang hal tersebut semakin hari semakin berkecamuk. Apalagi melihat realitas sekarang di mana banyak perdebatan di antara para figur keagamaan. Jadi, sebenarnya boleh ngga sih kita mengkritisi ulama? Apakah tidak kualat nantinya? Kira-kira begitu yang muncul di benak saya.

Saya berusaha menuliskannya dari perspektif sebagai orang awam yang menyimpan berbagai tanda tanya.

Sebagai seorang santri yang berdialektika di kalangan akar rumput, menempatkan adab di atas ilmu adalah pakem yang tak boleh tercerabut. Paham ini sudah mengakar kuat. Di mana kita hendaknya selalu ndherek dhawuh atas apa yang kiai atau ulama titahkan.

Namun dalam pergumulan sekarang ini, di mana budaya tradisional dan modern semakin bergesekan, muncul problematika yang semakin kompleks. Budaya modern yang cenderung mengedepankan rasionalitas membuat saya menjadi bingung.

Tradisi lama yang telah jamak menjadi pedoman utama seolah-olah tercabik-cabik oleh kekuatan nalar dan logika akal sehat. Sepertinya persinggungan saya dengan dunia luar dan beberapa realitas sekarang memberikan sebuah penafsiran baru.

Baca Juga:

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

Berbagi dan Selfie: Mengkaji Etika Berbagi di Tengah Dunia Digital

Dari Brain Rot ke Brain Refresh, Pentingnya Menjaga Kesehatan Akal

Rasionalitas dan Perkembangan Tradisi

Dalam tradisi pemikiran Islam, kejumudan umat muslim dahulu menjadi salah satu penyebab kemunduran peradaban Islam itu sendiri. Oleh karena itu muncul berbagai pembaharuan-pembaharuan di mana akal menjadi salah satu pendorong untuk mendobrak kejumudan itu.

Pun seperti halnya Imam Ghazali melalui magnum opusnya, Ihya’ Ulumuddin. Sebuah karya yang muncul setelah sang Hujjatul Islam ini melihat redupnya tradisi spiritual Islam sebelumnya.

Akal merupakan anugerah Allah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Dengan akal, manusia dapat berpikir, berkreativitas, dan berinovasi. Dengan akal, sebuah peradaban pun dapat terbentuk.  Inilah mengapa dalam budaya modern ini rasionalitas menempati posisi yang penting.

Rasionalitas sendiri berasal dari kata rasio yang menurut Herbert Marcuse adalah kemampuan kognitif dalam memilah antara suatu hal yang benar dan yang salah. Rasionalitas yang mengedepankan akal, dalam perkembangannya memang boleh digunakan untuk menafsirkan teks-teks keagamaan. Hal tersebut seperti halnya yang Al-Asy’ari dan Al-maturidy yakini, asalkan tetap berada pada porsi yang seimbang.

Rasionalitas Mendobrak Tradisi?

Dalam konteks sekarang, rasionalitas dalam berpikir ini pun kemudian membuat saya sedikit mempertanyakan beberapa hal. Misalnya tentang slogan nganan-ngiri ndherek kiai yang jamak menjadi pakem dalam pesantren apakah masih bisa menjadi pegangan. Mengingat banyaknya kasus yang cukup membuat nama pesantren ternodai. Seperti kasus pelecehan seksual oleh oknum petinggi pesantren yang viral beberapa tahun belakangan ini.

Maksud saya begini, beberapa kasus tersebut terjadi karena korban mendapatkan dhawuh dari petinggi pesantren untuk melakukan suatu hal tertentu. Walaupun ndhawuh tersebut secara logis tidak masuk akal. Namun dengan memanfaatkan superiotas dan jubah keagamaannya, akhirnya korban pun terpaksa mengikuti ndhawuh tersebut. Rasanya miris sekali mendengar berita seperti ini.

Bagaimana pun, seorang tokoh agama pun juga manusia. Pengkultusan terhadap mereka pun hendaknya diimbangi dengan akal sehat. Ketika suatu saat mereka melakukan sebuah kesalahan atau kejanggalan, mengkritisinya bukahkah tindakan yang sah-sah saja?

Mengkritisi Tidak Sama dengan Menggurui

Berbagai terminologi seperti barakah, adab, dan kualat kerap kali menjadi pemicu adanya pengkultusan terhadap satu tokoh tertentu. Akibatnya, jangankan mengkritisi, mempertanyakan dhawuh yang muncul pun seolah-olah menjadi barang tabu. Memang sadar akan level keilmuan dan posisi menjadi jurang pembatas yang signifikan.  Hanya saja, hal ini terkadang dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab.

Saya sendiri tidak mengatakan kalau perintah sam’an wa tho’atan sebagai pakem dalam ajaran pesantren itu kurang relevan. Boleh-boleh saja. Malah itu sebuah adab yang bagus bagi seorang santri untuk menaati perintah seorang guru. Dengan catatan, perintah tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam. Menurut saya seperti itu.

Dengan demikian, perintah yang ia berikan hendaknya jangan kita makan mentah-mentah. Di sini nalar dan logika akal sehat perlu kita pertimbangkan.

Saya setuju dengan ungkapan Prof. Nadhirsyah Hosen dalam wawancara bersama mojok.co saat mengkritisi PBNU kemarin. Beliau mengatakan bahwa adab tetap menjadi hal yang utama.

Akan tetapi, dalam kondisi tertentu kepentingan bangsa menjadi hal yang kudu kita prioritaskan. Jangan karena adab, lantas kita tidak mau bersikap. Kira-kira begitu kata Prof Nadhir.

Beliau mengatakan demikian karena memang level Beliau sudah setara dengan yang ia kritisi. Namun yang perlu kita garis bawahi, bahwa perihal adab ternyata juga bersifat dinamis menyesuaikan konteksnya. Kalau kata Gus Baha, adakalanya adab di atas ilmu seperti yang jamak kita pahami. Namun, adakalanya ilmu berada di atas adab dalam beberapa kondisi tertentu.

Dalam hal ini pun, mengkritisi juga perlu kita sampaikan secara santun, beradab, dan mengedepankan etika. Hal tersebut karena mengkritisi tidak sama dengan membenci, apalagi menggurui. Saya lebih senang menganggap bahwa mengkritisi adalah bentuk kepedulian untuk saling mengingatkan.

Bukankah Al-Qu’an juga menyuruh kita untuk saling menasihati dalam hal kebaikan?

Beda Cara Boleh, Menghina Jangan

Oleh karena itu ketika menemui perbedaan pendapat di kalangan ulama, kita jangan lantas saling serang.

Mirisnya di era media sosial sekarang ini beberapa perbedaan pendapat ulama kadang kala menjadi komoditas untuk saling menghujat. Anonimitas sebagai salah satu karakter media sosial menjadikan seseorang dengan bebas mengaspirasikan unek-uneknya. Yang kadang jauh dari kata “beretika”.

Jika menilik ke belakang, pada dasarnya perbedaan di kalangan ulama adalah hal yang biasa. Hanya saja sekarang ini, perbedaan tersebut mudah tersebar di kalangan masyarakat grassroot sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda.

Mungkin cara yang paling tepat adalah mengikuti figur yang kita jadikan panutan. Akan tetapi, kefanatikan terhadap satu tokoh tertentu kadang-kadang membuat kita menutup rapat terhadap perbedaan pendapat dari ulama lainnya. Ini yang salah.

Jika kita memang menjunjung toleransi, berdamai dengan setiap perbedaan tanpa melakukan hujatan bukankah sebuah impian? Lha wong tujuannya sama-sama untuk kebaikan.

Namun ketika memang perlu mengkritisi ulama, sampaikan saja dengan tetap menjaga adab dan etika. Bukan malah menghujat ataupun menggurui satu sama lainnya, terutama di media sosial. Yang paling penting, mari kita jaga kondusifitas untuk mewujudkan keharmonisan bersama sebagai warga Indonesia. []

Tags: adabEtikamedia sosialmengkritisi ulamarasionalitas
Muhammad Nasruddin

Muhammad Nasruddin

Alumni Akademi Mubadalah Muda '23. Dapat disapa melalui akun Instagram @muhnasruddin_

Terkait Posts

Gerakan KUPI

Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI

4 Juli 2025
Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Kebencian Berbasis Agama

Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

2 Juli 2025
Vasektomi

Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

2 Juli 2025
Anak Difabel

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

1 Juli 2025
Narasi Pernikahan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

1 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Rumah Tak

    Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Belajar Inklusi dari Sekolah Tumbuh: Semua Anak Berhak Untuk Tumbuh

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pesan Pram Melalui Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Belajar Inklusi dari Sekolah Tumbuh: Semua Anak Berhak Untuk Tumbuh
  • Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat
  • Pesan Pram Melalui Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer
  • Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak
  • Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID