• Login
  • Register
Kamis, 19 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Parenting Ala Imam Al-Ghazali (2): Pentingnya Anak Bermain Semasa Pendidikan

Dalam proses belajar anak harus riang, antara lain dengan menyampaikan cerita dan kisah yang penuh pesan moral

Moh Soleh Shofier Moh Soleh Shofier
29/04/2024
in Keluarga, Rekomendasi
0
Parenting Ala Imam Al-Ghazali

Parenting Ala Imam Al-Ghazali

1.2k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah. id – Salah satu kiat parenting ala Imam al-Ghazali dalam masa pendidikan yaitu pentingnya anak-anak punya waktu main. Seirama dengan pesan yang sempat berseliweran di berandaku, Dr. Karlina Supeli menegaskan dengan elegan, “Saya setuju kita perlu menata kurikulum dengan sangat serius, tapi jangan bebani anak SD terlalu berat. Anak-anak itu tugasnya main… Pulang sekolah lempar tasnya. Main di luar”.

Pernyataan seorang filosof itu menggambarkan, setidaknya, dua hal pada diri saya. Pertama, kurikulum pendidikan di negara kita ini beratnya minta ampun. Anak SD sudah mendapat bejibun tugas-tugas sekolah yang memangkas waktu mainnya – seperti halnya saya dan kalian pernah mengalaminya.

Pentingnya Bermain Bagi Anak Semasa Pendidikan

Kedua, statement perempuan yang bergelar astronom itu pula membawa saya ke ingatan di mana Imam al-Ghazali melarang orang tua (pendidik) memotong waktu bermain dan hiburannya anak. Imam al-Ghazali menulis;

وَيَنْبَغِي أَنْ يُؤْذَنَ لَهُ بَعْدَ الِانْصِرَافِ مِنِ الْكُتَّابِ أَنْ يَلْعَبَ لَعِبًا جَمِيلًا يَسْتَرِيحُ إِلَيْهِ من تعب المكتب بحيث لا يتعب في اللعب

“Harusnya, orang tua mengizinkan anaknya setelah pulang dari madrasah beralih untuk bermain dengan riang yang bisa merefresh kepenatan anak dari letihnya belajar. Sekiranya ia tidak merasa capek saat bermain”. (Ihya Ulumiddin, 3/73).

Baca Juga:

Belajar dari Khansa binti Khidam Ra: Perempuan yang Dipaksa Menikah Berhak untuk Membatalkannya

Melihat Istri Marah, Benarkah Suami Cukup Berdiam dan Sabar agar Berpahala?

Multitasking itu Keren? Mitos Melelahkan yang Membebani Ibu Rumah Tangga

Belajar dari Kehidupan Rumah Tangga Nabi: Menyelesaikan Konflik Tanpa Kekerasan

Jika kita telisik, pernyataan bahwa anak tugasnya adalah main atau anak membutuhkan waktu bermain, bukan tanpa alasan. Sesuai hasil pengamatan empiris Imam al-Ghazali, anak yang terus dijejali dengan bejibun pelajaran akan membunuh mentalitas belajar sang anak. Beliau mendedahkan hasilnya;

فَإِنَّ مَنْعَ الصَّبِيِّ مِنَ اللَّعِبِ وَإِرْهَاقَهُ إِلَى التَّعَلُّمِ دَائِمًا يُمِيتُ قَلْبَهُ وَيُبْطِلُ ذَكَاءَهُ وَيُنَغِّصُ عَلَيْهِ الْعَيْشَ حَتَّى يَطْلُبَ الْحِيلَةَ فِي الْخَلَاصِ مِنْهُ رَأْسًا

“Karena melarang anak bermain dan memaksanya senantiasa belajar, justru akan membunuh mentalitas belajar dan kecerdasan anak. Dan ia terbebani hidupnya sehingga mencari siasat untuk meninggalkan pelajarannya sama sekali”. (Ihya Ulumiddin, 3/73).

Seirama dengan data itu, satu teori yang mengajarkan bahwa setiap sesuatu yang berlebihan dosis dan porsinya maka akan berakibat negatif. Alih-alih mencerdaskan anak justru menjerumuskan. Hal ini kemudian menjelma suatu kaidah yang Imam Al-Ghazali sebutkan di beberapa topik.

كل ما تجاوز عن حده انعكس إلى ضده

“Setiap sesuatu yang melebihi porsinya maka akan berbalik ke arah sebaliknya”.

Namun demikian, meski memberi kesempatan bermain pada anak, bukan berarti membiarkan hanya bermain. Tetapi, menurut pengakuan Dr. Karlina dalam suatu podcast bersama Gita Wirjawan, orang tua harus menanamkan nilai atau falsafah bahwa anak itu hidup untuk hal-hal besar, melebihi diri, keluarga, dan kelompoknya. Hidup untuk sebuah bangsa dan kemanusiaan.

Mengajarkan Dengan Nyaman Dan Tak Memberatkan Anak Dengan Tugas Pelajaran

Tak ayal bila Imam al-Ghazali satu sisi menekankan agar anak belajar sesuai porsi. Belajar dengan nyaman dan tidak terbebani dengan seabrek tugas-tugas pendidikan.

ثُمَّ يَشْتَغِلُ فِي الْمَكْتَبِ فَيَتَعَلَّمُ الْقُرْآنَ وَأَحَادِيثَ الأخبار وَحِكَايَاتِ الْأَبْرَارِ وَأَحْوَالَهُمْ لِيَنْغَرِسَ فِي نَفْسِهِ حُبُّ الصالحين

“Setelah fase pertumbuhan awal, kemudian si anak hendaknya masuk berkecimpung di perpustakaan. Lalu belajar Alquran, hadis-hadis informatif, hikayat dan ihwal perjalanan para tokoh sehingga tumbuh rasa mengidolakan ikon-ikon tersebut”. (Ihya Ulumiddin, 3/73).

Selain menegaskan pentingnya belajar, pernyataan beliau juga mengisyaratkan bahwa dalam belajar anak harus riang. Antara lain dengan menyampaikan cerita dan kisah yang penuh pesan moral.

Dalam Islam, kewajiban parenting orang tua pada fase pendidikan pertama kali adalah mengenalkan Tuhan dan Nabi serta kisah-kisah inspiratif yang terdapat dalam Alquran dan hadis Nabi. Selain itu juga menceritakan tokoh-tokoh lainnya – sampai saat ini metode cerita adalah strategi yang paling asyik dalam menyampaikan materi.

Setelah tumbuh rasa “pengidolaan” terhadap salah satu ikon cerita yang terabadikan dalam Alquran dan hadis  maka tahap demi tahap mengajarkan cara baca Alquran sesuai rasa penasaran anak untuk mengetahui langsung kisah tersebut. Hingga akhirnya, ketika dewasa nanti anak tersebut mempelajari subtil ilmu-ilmu Alquran dan lainnya.

Pentingnya Mengapresiasi Anak

Dalam proses pendidikan itu, yang tak boleh orang tua lupa adalah mengapresiasi dan memberi insentif pada anak yang berhasil mencapai prestasi atau setidaknya mampu bertahan dari waktu dalam fase pendidikan.

Sebab dalam fase ini, sesuai pertumbuhan anak ke fase remaja – anak yang sudah tercukupi kebutuhan mainnya di masa sebelumnya – tidak lagi membutuhkan waktu “bermain” (baca: berleha-leha). Lebih dari itu, ia akan membutuhkan validasi orang tua. Dalam hal ini, Imam Al-Ghazali menandaskan.

“Kemudian tiap kali si anak berhasil mencapai prestasi keluhuran budi dan tindakan terpuji maka sepantasnya memberi apresiasi dan insentif dengan hadiah yang membuat anak senang serta mendeklarasikan di muka umum.” (Ihya Ulumiddin, 3/73).

Sebaliknya, sebagai manusia, anak sebaik apapun akan mengalami kecerobohan dan khilaf dan melakukan penyimpangan-penyimpangan. Bila anak hanya melakukan sekali, atau tidak menjadi kebiasaannya maka hendaknya orang tua memakluminya. Dalam hal ini Imam Al-Ghazali mengingatkan bagi orang tua sebagai wawasan parenting.

“Namun bila si anak khilaf dalam suatu hal dan satu kondisi hendaknya orang tua pura-pura tak tahu dan tidak menerka serta tidak mengumbar. Pun tidak membanding-bandingkan dengan anak-anak sebayanya”. (Ihya Ulumiddin, 3/73). []

Tags: belajarbermainHak anakimam al-ghazalikeluargaparentingpendidikan
Moh Soleh Shofier

Moh Soleh Shofier

Dari Sampang Madura

Terkait Posts

Revisi Sejarah

Ibnu Khaldun sebagai Kritik atas Revisi Sejarah dan Pengingkaran Perempuan

19 Juni 2025
Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

Dari Indonesia-sentris, Tone Positif, hingga Bisentris Histori dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

18 Juni 2025
Perbedaan anak laki-laki dan perempuan

Jangan Membedakan Perlakuan antara Anak Laki-laki dan Perempuan

17 Juni 2025
Istri Marah

Melihat Istri Marah, Benarkah Suami Cukup Berdiam dan Sabar agar Berpahala?

17 Juni 2025
Ibu Rumah Tangga

Multitasking itu Keren? Mitos Melelahkan yang Membebani Ibu Rumah Tangga

17 Juni 2025
Pesantren Disabilitas

Sebuah Refleksi atas Kekerasan Seksual di Pesantren Disabilitas

16 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • SIS Malaysia

    Berproses Bersama SIS Malaysia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nelayan Perempuan Madleen, Greta Thunberg, dan Misi Kemanusiaan Palestina

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dr. Nur Rofiah Tegaskan Pentingnya Mengubah Cara Pandang untuk Hentikan Kekerasan Seksual pada Anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Doa, Dukungan dan Solidaritas untuk Sister in Islam (SIS) Malaysia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kalau Paham Konsep Mubadalah Kiai Faqih, Yakin Deh Nggak Kena Queen Bee Syndrome!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Ulasan Crime and Punishment: Kritik terhadap Keangkuhan Intelektual
  • Belajar dari Khansa binti Khidam Ra: Perempuan yang Dipaksa Menikah Berhak untuk Membatalkannya
  • Tastefully Yours : Membongkar Konstruksi Sosial dari Dapur
  • Perkawinan Bukan Perbudakan: Hak Kemandirian Perempuan dalam Rumah Tangga
  • Ibnu Khaldun sebagai Kritik atas Revisi Sejarah dan Pengingkaran Perempuan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID