Mubadalah.id – Dalam perspektif Qur’an, perceraian bukan sesuatu yang buruk jika pun diajukan dan dituntut perempuan.
Bahkan, perceraian bisa menjadi pilihan yang baik bagi perempuan untuk menemukan ketenangan dirinya dan melestarikan kenyamanan berkeluarga. Termasuk juga memilih kebaikan dalam membesarkan anak, dan memperoleh segala kemaslahatan yang mungkin hanya bisa dicapai jika hidup tanpa berbagi suami.
Ayat 128-130 ini bisa kita sebut mujizat. Ia mendengar suara perempuan masa sekarang sejak 15 abad yang lalu. Suara yang menginginkan kemandirian dan kedaulatan diri.
Ayat ini jarang terangkat ke permukaan dalam ceramah-ceramah pengajian mengenai poligami. Yang tersebar hanyalah anjuran seorang istri untuk bersabar dan berbakti kepada suami.
Istri tidak diberi pilihan untuk memandang dirinya, mendengar perasaanya, dan memenuhi kebutuhannya. Ia ada bukan untuk dirinya. Tetapi untuk orang lain.
Dan ayat ini, justru memberi kesempatan kepada perempuan. Yaitu pilihan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri ketika suami sudah berpaling kepada perempuan lain. Suami yang memilih poligami.
Ayat ini menegaskan bahwa perempuan adalah manusia, yang berhak memilih untuk hidup mandiri, tanpa harus terbebani oleh kehidupan dengan suami yang berpoligami.
Dus, dari sisi ini, monogami lebih memungkinkan kehidupan suatu pasangan lebih dekat dengan anjuran Qur’an untuk saling berbuat baik satu sama lain (ishlah).
Pesan Transformasi Al-Qur’an
Kesadaran tidak berpoligami terhadap ayat an-Nisa yang menggejala pada saat sekarang ini mulai dari akhir abad kesembilan belas masehi, adalah sesuatu yang wajar. Karena tuntutan peradaban kemanusiaan saat ini telah mengalami lompatan yang signifikan terhadap jati diri kemanusiaan perempuan.
Lompatan yang sama juga terjadi pada tuntutan peradaban terhadap jati diri kemanusiaan para budak, yang sebelumnya masih setengah manusia. Tetapi ketika Imam az-Zamakhsyari yang hidup pada abad ke enam hijriyah, menegaskan untuk memilih monogami dan meninggalkan poligami, adalah sesuatu yang luar biasa.
Karena pada saat itu, perbudakan masih merajalela dan poligamipun setali tiga uang saja. Banyak orang pada saat itu, yang tidak saja memiliki lebih dari seorang perempuan. Tetapi juga memiliki selir dari para budak perempuan. Tetapi az-Zamakhsyari lebih memilih memaknai ayat an-Nisa untuk menegaskan komitmen ter. hadap monogami, dengan pernyataan:
“Tetaplah dan nikahlah seorang perempuan saja, dan tinggalkan poligami sekarang juga. Karena pokok persoalan, semuanya ada pada keadilan. Di mana kamu menemukannnya, di situ lah kamu harus memilih dan mengambilnya.” []