Mubadalah.id – Dalam banyak hadis kita dapatkan bahwa haid sama sekali tidak menjadi alat untuk menistakan perempuan. Melalui penuturan para istrinya, Nabi diriwayatkan melakukan apa saja terhadap istrinya yang sedang haid kecuali bersenggama. Nabi mandi bersama mereka dan tidur satu selimut dengan mereka.
Hal yang sama beliau kemukakan juga untuk para sahabat laki-laki. Nabi juga menolak keras perbuatan orang-orang Yahudi yang tidak mau makan bersama dengan perempuan haid.
Sebaliknya Nabi malah pernah minum dan menempelkan mulutnya di gelas bekas Aisyah dan menggigit daging di tempat bekas gigitan Aisyah. Lebih dari itu Nabi menganjurkan perempuan yang sedang haid untuk bersama-sama hadir mengikuti khutbah dan perayaan Idul Fitri dan Idul Adha.
Perintah ini merupakan sesuatu yang tidak lazim pada saat itu; saat di mana laki-laki. Bahkan perempuan sendiri menabukan bergabungnya perempuan haid bersama masyarakat luas dalam acara-acara besar.
Perilaku Nabi menghapus batas-batas ketabuan ini mendorong para sahabat perempuan untuk berani bertanya dan membahas lebih jauh persoalan haid, nifas, dan istihadhah ini tanpa rasa malu.
Aisyah Memuji Sikap Kritis Perempuan Anshar
Dalam satu kesempatan Aisyah memuji sikap kritis perempuan Anshar yang tidak segan-segan mengungkapkan persoalan reproduksinya kepada Nabi demi tafaqquh fiddin (mendalami agama).
Situasi dialogis seperti ini pada gilirannya mendorong banyaknya hadits yang berbicara soal haid, istihadhah, dan nifas. Dalam al-Kutub al-Sittah persoalan ini menempati satu bab khusus. Bahkan dalam Sunan Ibn Majah masalah haid, nifas dan istihadhah ini dituangkan dalam sangat banyak halaman.
Secara umum dapat kita katakan bahwa dalam hadits, spektrum pembahasan haid, nifas, dan istihadhah sudah memasuki wilayah yang lebih teknis, operasional, dan praktis.
Berkenaan dengan wacana haid, nifas dan istidhadah dalam hadits, ada satu catatan penting yang bisa dikemukakan di sini. Yakni hampir seluruh ketentuan tentang ketiga persoalan ini berdasarkan pada dan sebagai solusi atas kasus yang terjadi pada perempuan masa itu. Hukum ditetapkan dengan mempertimbangkan kondisi perempuan.
Solusi hukum yang Nabi berikan menyangkut perempuan yang mengalami istihadhah menjadi bukti kemauan dan kemampuan Nabi mendengar kaum perempuan. Hampir seluruh hadits tentang persoalan ini menyatakan atau paling tidak mengindikasikan adanya dialog antara wahyu (melalui hadits Nabi) dengan perempuan sebelum turunnya suatu ketentuan.
Aisyah, Ummu Salamah, Fatimah binti Abi Hubaisy, Ummu Habibah binti Jahsy, Asma binti Umais, dan Hamnah binti Jahsy, –radhiyallahu anhunna – adalah sebagian nama sahabat perempuan yang berperan dalam munculnya hadis-hadis tentang haid, nifas, dan terutama istihadhah.
Sebagian di antara mereka mengalami istihadhah dahsyat dan bahkan ada yang sampai menahun. Sehingga perlu bertanya kepada Nabi.
Dan menariknya Nabi tidak memberikan jawaban yang yang seragam terhadap semua kasus. Kecuali hal-hal yang sudah pasti bisa perempuan lakukan. Misalnya tetap bisa melakukan shalat sebagaimana orang yang sedang suci serta wudhu setiap kali mau shalat. []