Mubadalah.id – Dewasa ini kita disentakkan dengan fenomena yang mengiris perasaan. Eksploitasi seks tidak saja terjadi pada perempuan dewasa yang memiliki persoalan ekonomi, keluarga maupun problem sosial lainnya. Melainkan juga pada anak-anak di bawah umur yang sama sekali tidak sadar bahwa dirinya sedang menjadi sasaran eksploitasi.
Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung atau Medan, banyak anak-anak perempuan yang dilacurkan. Kian hari jumlah mereka kian meningkat.
Bagaimana masyarakat kita seharusnya bersikap? Sudah saatnya masyarakat memberikan empati terhadap para korban dengan menerapkan sikap yang Allah Swt nyatakan dalam ayat di atas yakni:
Pertama, bersikap tegas terhadap pelaku eksploitasi seks dengan cara mencegah, menolak dan menghentikan eksploitasi sesuai dengan kemampuan dan wewenang yang negara miliki.
Mengingat eksploitasi seks dan perdagangan perempuan sudah menjadi semacam mafia. Maka kita perlukan lembaga-lembaga yang kuat yang bekerja secara terkoordinir dan sistematis untuk menghentikan praktik pemaksaan tersebut. Isyarat inilah yang bisa kita pahami dari teks ayat:
وَلَا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُوا عَرَضَ الْحَيَاةِ (النور، 33)
Artinya: “Dan janganlah paksa budak perempuan kalian untuk melakukan pelacuran jika mereka ingin kesucian.” (QS. an-Nur ayat 33).
Lapang Dada
Kedua, bersikap lapang dada, luas ampunan, menunjukkan empati dan kasih sayang terhadap mereka yang dilacurkan atau dijebak dalam eksploitasi seks.
Sikap inilah yang seyogyanya menjadi sikap kolektif masyarakat dan bukan sebaliknya masyarakat malah ikut memberikan cap negatif yang kian memperparah penderitaan korban.
Sikap seperti itu sama sekali tidak mengikuti tantunan Allah SWT yang jelas menyatakan bahwa Ia Maha Pengampun dan Maha Pengasih pada korban yang mendapatkan paksaan itu. Inilah yang bisa kita pahami dari firman-Nya:
وَمَنْ يُكْرِهْهُنَّ فَإِنَّ اللَّهَ مِنْ بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ غَفُورٌ رَحِيمٌ (النور، 33)
Artinya: “Dan barang siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah setelah keterpaksaan mereka itu, Maha Pengampun lagi Maha Pengasih.”
Sikap-sikap Qur’ani ini sungguh perlu kita masyarakatkan. Sebab jelas-jelas korban pemaksaan itu memperoleh perlakuan bijak dari Tuhan dan sekaligus memperoleh jaminan bebas dari dosa sebagaimana tertera dalam hadis berikut ini:
رفع عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه.
Artinya: “Ummatku terbebas dari dosa kekhilafan, kealpaan, dan keterpaksaan yang ditimpakan kepadanya.
Jika demikian petunjuk Al-Qur’an dan hadits, adakah alasan bagi kita untuk bersikap seperti hakim suci yang memberi vonis tanpa ampun kepada korban perkosaan? Jawabannya tentu, tidak! []