Mubadalah.id – Perbedaan latar belakang budaya, tradisi, musim, hingga perbedaan usia dan selera turut mempengaruhi pilihan muslimah memilih model, motif, bentuk, dan potongan busana yang dikenakannya. Jilbab dengan demikian mesti kita lihat juga sebagai hal yang bersifat sosiologis, tidak semata-mata teologis.
Perintah Allah untuk mengenakan jilbab dan pakem-pakem busana muslimah yang Rasulullah Saw sampaikan memang bersifat teologis. Namun, Allah sendiri tidak merinci apa itu jilbab, bagaimana modelnya, dan sebagainya.
Petunjuk Nabi tentang apa yang boleh dan tidak boleh dalam berbusana juga jelas, tapi Nabi sendiri tidak pernah membuat model baku bahwa bentuk dan potongan busana muslimah harus seperti ini untuk setiap muslimah di mana pun, kapan pun, dalam kondisi apa pun. Itulah kemahabijaksanaan Allah dan kebijaksanaan Rasulullah.
Ajaran tentang jilbab dan busana muslimah yang bersifat teologis berlaku universal dan permanen. Namun, desain, bentuk, motif, warna, material dan potongan jilbab, dan busana muslimah adalah sesuatu yang bersifat sosiologis karena terpengaruhi oleh perbedaan usia dan selera, kurun waktu, bangsa, tradisi, dan terkadang ideologi.
Oleh karena itu, tidak tepat menteologiskan sesuatu yang sesungguhnya bersifat sosiologis. Sejauh busana muslimah memenuhi ketentuan umum berpakaian sebagaimana di atas. Insya Allah, tujuan pensyariatan jilbab tercapai, yakni sebagai identitas muslimah agar mudah kita kenali sehingga tidak menjadi korban pelecehan.
Tak perlu ada pembakuan dan pembatasan hanya model ini yang sesuai dengan syariat karena Syar’i. Pembuat syariat yakni Allah Swt sendiri tidak pernah membakukan desain, motif, bentuk, dan potongan busana muslimah.